MCB 02

232 65 10
                                    

Anchika dan Arayya saling memakaikan cincin ditengah tepuk tangan orang-orang yang menghadiri pernikahan mereka. Wajah semua orang tampak bahagia, begitupun dengan Arayya dan Anchika.

Pernikahan keduanya yang hanya dihadiri keluarga inti dan rekan bisnis terdekat itu berakhir dengan kebahagian, tidak hanya sampai di situ kebahagian yang pasangan muda itu rasakan semakin bertambah ketika proses bayi tabung yang mereka rencanakan berhasil.

Meskipun di awal kehamilan tubuh Anchika drop, itu tidak mengubah fakta jika keduanya sangat bahagia.

"Kamu ingin memberi nama anak kita siapa?"

Di malam yang tenang, Anchika bertanya.

Arayya yang sedang memijit kaki bengkak Anchika tampak berpikir serius.

"Aku ikut kamu saja sayang" Jawab Arayya kemudian yang berhasil membuat Anchika memajukan bibirnya.

Arayya terkekeh, jika sudah seperti ini itu berarti pasangannya tengah kesal.

"Archie, itu namanya" Kata Arayya kemudian.

"Ara~~~ anak kita perempuan, Archie itu nama anak laki-laki" Tolak Anchika.

"Tapi itu cocok, Archie gabungan nama kita berdua"

Anchika terdiam, keningnya mengkerut tampaknya sedang memikirkan nama pemberian Arayya.

"Oke, Archie..." Anchika tersenyum puas, tangannya yang bebas mengusap perutnya.

Tidak ingin ketinggalan, Arayya bergerak maju dan ikut mengusap perut buncit Anchika. Wajah keduanya dipenuhi kebahagian.

"Chika..."

"Hmm?"

"Terima kasih" Mata sipit Arayya menatap Anchika intens.

Arayya tidak tahu akan seperti apa hidupnya tanpa Anchika disisinya. Sejauh ini, selama Anchika bersamanya dia merasa hidup dengan dipenuhi kebahagian.

Dan sebentar lagi kebahagian itu akan bertambah jika Archie lahir dan ada ditengah-tengah mereka.

Hari-hari berlalu dengan tenang, kehamilan Anchika membawa energi positif kepada seluruh keluarga Arayya. Setiap akhir pekan keluarga Arayya akan datang berkunjung dan memberikan semua hal baik kepada Anchika.

Arayya yang merupakan anak kandung mulai tersisihkan, akan tetapi dihadapan Anchika dan juga ibunya yang posesif terhadap Anchika dia hanya bisa menelan semua kepahitan tersebut.

Sama seperti akhir pekan lainnya, hari ini Helena, ibu Arayya datang tanpa tangan kosong.

Kedua tangannya memegang banyak hal.

Helena dengan sepatu hak tingginya berjalan masuk ke dalam rumah dan disambut antusias oleh Anchika.

"Sayang, kemari! Coba lihat, mama membawa buah dan pakaian" Helena memanggil Anchika agar duduk di dekatnya, dia sama sekali tidak peduli dengan sosok jakun Arayya yang juga ada di sekitar.

Anchika tersenyum lebar dan ikut duduk, dia dengan antusias membuka semua bingkisan yang ibu mertuanya bawa.

"Maa, ini semua buah mahal!!!" Pekik Anchika tidak percaya.

Apel hitam, melon persegi, semangka persegi, dan juga beberapa buah anggur. Ini semua adalah buah-buahan yang Anchika pernah lihat di majalah.

"Wanita hamil harus makan buah, ini semua buah yang sangat bagus. Mama memesan ini khusus untuk kamu makan sendiri" Balas Helena, dan ketika mengucapkan kata terakhir dia diam-diam melirik Arayya.

Arayya tersenyum masam, itu berarti sang ibu melarangnya untuk ikut memakan buah langka dan mahal tersebut.

Anchika juga memahami itu, dia dengan sengaja mengangguk patuh untuk menambah rasa masam pada Arayya.

"Apa kata dokter, kapan kamu akan melahirkan? Mama tidak sabar bertemu dengan cucu perempuan mama satu-satunya" Helena sangat antusias ketika mengusap perut buncit menantunya.

Meskipun Helena sudah memiliki cucu dari ketiga putranya, dia belum merasa cukup. Itu karena semua cucunya adalah laki-laki, dan jika benar kalau bayi yang Anchika kandung sekarang adalah anak perempuan maka itu akan menjadi cucu perempuan satu-satunya di dalam keluarga mengingat semua kakak Arayya sudah melakukan steril setelah memiliki dua anak dimasing-masing mereka.

"Tinggal menunggu hari ma..."Jawab Anchika.

"Tapi mungkin saat aku melahirkan Ara tidak ada"

"Kenapa?" Kedua alis Helena terjalin, dia menoleh kearah putrinya.

"Ada pekerjaan ma" Jawab Ara singkat.

"Kamu bisa meminta kakak-kakakmu..."

Arayya menggeleng.

"Aku harus pergi sendiri, ketiga kakakku itu tidak tahu harus di mulai darimana dan berakhir dimana"

"Jadi kamu akan membiarkan Chika melahirkan sendiri?"

"Itu sebabnya mama diperlukan disini" Arayya tersenyum lebar.

Bukannya marah, Helena justru ikut tersenyum. Usapannya diperut buncit Anchika melembut.

"Archie jangan khawatir, ada nenek..."









•••








Arayya berlari secepat yang dia bisa setibanya di rumah sakit. Beberapa jam yang lalu Helena, sang ibu menghubunginya dan memberitahu jika Anchika telah melahirkan anak perempuan mereka dan sedang di rawat.

Arayya juga sudah tahu letak kamarnya di mana, jadi dia bergegas kearah kamar tersebut.

Nafas Arayya tersengal, wajahnya panas karena kelelahan berlari. Saat ini dia berada di depan pintu kamar dimana Anchika dan putrinya berada.

Ceklek.

Arayya membuka pintu.

Orang-orang yang sedang berada di dalam ruangan menoleh secara bersamaan.

Hati Arayya melembut ketika netranya menangkap sosok mungil yang dibalut selimut sedang berada di pelukan kakak iparnya.

"Archie..." Lirih Arayya.

Kakak ipar Arayya tersenyum, dia melangkah maju dan memberikan bayi mungil digendongan pada Arayya.

Arayya menerimanya dengan hati-hati. Wajah bayi kemerahan yang tertidur itu membuatnya terenyuh. Bayi mungil dengan pipi tembem dan hidung mancung itu menggeliat, tangannya bergerak kecil.

Sudut bibir Arayya terangkat, matanya berkaca-kaca.

"Chika mana?" Tanya Arayya, pasalnya dia sama sekali tidak mendapati sosok Arayya selain ibu dan kakak ipar dari saudara nomor duanya.

Helena memalingkan wajahnya, matanya sembab.

"Ma, Chika mana?"

Helena menggeleng, saat ini dia lebih suka menatap lantai putih di bawahnya daripada wajah kebingungan putri satu-satunya itu.

"Pergi..." Kakak ipar Arayya yang sejak tadi diam akhirnya membuka suara.

"Pergi? Kemana? Kamar mandi?"

"Bukan Ara. Anchika pergi, dia meninggalkanmu dan juga bayi kalian. Setelah melahirkan Archie dia berpura-pura ingin makan bubur dan meminta kita berdua membelinya diluar tapi saat kita pulang dia sudah tidak ada dan hanya tinggal Archie di box bayi. Mama menghubunginya tapi kata Anchika, kita tidak perlu mencarinya"

Arayya terpaku, dia merasa ucapan kakak iparnya tidak benar sama sekali.

"Bohong! Kenapa Chika harus melakukan itu? Kita berdua bahagia bersama"

"Hanya kamu yang bahagia, dia tidak. Buktinya dia pergi begitu saja"

"Aura hentikan!" Helena menarik lengan menantunya itu agar berhenti bicara.

"Ma! Aku tidak salah..."

Arayya tidak ingin mempercayai ucapan Aura, akan tetapi tangisan Helena di detik berikutnya membuat dia terduduk lemah di lantai.

Mata Arayya berkaca-kaca, baby Archie yang berada di pelukannya bergerak saat butiran bening terjatuh ke wajahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mockingbird (ArayyaxAnchika)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang