Sebelum matahari menampakkan tanda-tanda akan terbit, terdengar bunyi suara kunci terbuka dari pintu. Megi yang jauh lebih berpengalaman pun segera bangun, dirinya pun menghela napas lega saat melihat yang membuka pintu tersebut adalah Galon, bukan salah satu dari ketiga pilar.
Pria berambut toska itu sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun setelah melihat keadaan keduanya, lalu segera pergi meninggalkan gubuk itu.
Dirinya pun segera bangkit dari hamparan kain yang ia bentangkan sebagai alas tidur, kemudian ia pun mendekat ke arah Kirman yang masih terlelap.
"Kirman, bangun. Kita harus segera menyiapkan sarapan untuk mereka," ujarnya sambil sedikit mengguncang tubuh pria itu, tentu saja ia melakukannya dengan hati-hati mengingat kondisi pria itu yang baru saja pulih.
Perlahan, kedua kelopak matanya terbuka dan menampilkan kedua iris biru yang nampak indah. Beberapa kali dirinya mengejapkan matanya sebelum merubah posisinya menjadi duduk.
"Apakah kau sudah baik-baik saja?" tanya Megi yang kemudian diangguki oleh pria itu, dirinya kemudian menghela napas lega. "Baguslah. Kalau begitu, aku akan menunjukkan di mana dapur di tempat ini."
Seperti perkataannya, Megi menunjukkan arah menuju dapur. Kirman sendiri mengikutinya dari belakang dengan langkah yang sedikit terseok. Sebenarnya Megi telah menawarkan bantuan untuk membantu pria itu, namun segera ditolak mentah-mentah olehnya.
"Di sini tempatnya," ujar Megi begitu tiba di sebuah bangunan kayu, dengan ruang makan terbuka pada bagian atasnya. "Pastikan roti itu matang tepat sebelum kau menghidangkan kepada mereka, mengingat ketiganya hanya makan roti yang baru keluar dari pemanggang."
Pria berparas cantik itu kemudian mengangguk, membuat Megi tersenyum tipis. "Kalau begitu, aku akan pergi memerah susu dan mungkin mengumpulkan beberapa butir telur."
Segala macam hubungan tentu saja dimulai dengan rasa ketertarikan, tidak peduli bagaimanapun bentuknya, baik dalam hal baik atau buruk.
Bisa juga berawal dari rasa empati dan belas kasih yang menimbulkan hasrat untuk dapat mengenal lebih dekat, sama seperti keduanya.
Seakan telah tertulis dalam goresan tinta takdir, mau tidak mau keduanya harus tetap bersama. Entah berapa puluh bahkan mungkin ratus kali keduanya harus bersama-sama, yang jelas itu bukanlah hal yang begitu sepele.
Meskipun pada kasta budak juga terdapat Edib, namun pemuda itu sangat berbeda dengan mereka berdua. Edib, yang jelas-jelas seorang budak, adalah orang yang entah mengapa sangat disayangi oleh Noya.
Sejak kehadiran Edib, Noya selalu menolak memakan masakan selain yang dibuatkan oleh pemuda itu. Bahkan, pemuda itu hampir tidak pernah diberikan pekerjaan kasar oleh Noya. Pemuda itu hampir tidak pernah melakukan tugas selain mengurusi kebun, peternakan, dan pertanian. Selain itu, dirinya juga selalu menemani Noya saat berpergian.
"Berapa peti kayu lagi yang diminta oleh Galon?" tanya Kirman, Megi yang masih menebang kayu pun menoleh.
"Ku rasa sudah cukup," jawab Megi, dirinya kemudian menatap ke arah tumpukan peti kayu yang tersusun rapi. "Ya, aku rasa sudah cukup."
Kirman kemudian melempar asal kapak miliknya sebelum duduk di atas hamparan dedaunan, dirinya pun menghela napas. "Mari kita istirahat sejenak, aku sudah merasa lelah saat melihat tumpukan kayu itu."
"Ide bagus. Mari kita istirahat sebelum memindahkan semua itu ke markas." Pemuda itu kemudian menyimpan kapak yang ia gunakan sebelumnya, barulah dia menghampiri pria itu. Tanpa mengatakan apapun, dirinya kemudian merebahkan diri dan menggunakan paha pria itu menjadi bantal.
"Hei Bocah, kepalamu berat, kau tahu?" omel Kirman, namun dirinya memilih untuk tidak melakukan apapun untuk menyingkirkan kepala pemuda itu.
Megi pun berdecak. "Kau berisik sekali, Kirman. Lebih baik kau segera menutup mulutmu sebelum aku yang menutupnya paksa."
Kirman kemudian tersenyum kecut, malas jika harus berdebat dengan pemuda itu. Dirinya kemudian menoleh ke sekitarnya, tidak sengaja melihat seekor ulat pohon yang tengah menggeliat di atas dedaunan yang berada tidak jauh dari mereka.
Ulat itu bukanlah ulat biasa, melainkan jenis ulat yang aman untuk dikonsumsi. Sup ulat pohon biasanya disajikan sebelum peperangan, mengingat tingginya kandungan protein yang dikandungnya.
Perlahan, pria itu mengambil ulat tersebut dengan tangan kanannya. Kemudian, tangan kirinya ia gunakan untuk menutup kedua mata Megi. "Apakah kau percaya kepadaku, Megi?"
Megi pun terkekeh. "Aku tahu kau akan melakukan sesuatu kepadaku, Kirman. Tapi baiklah, aku percaya kepadamu."
Tentu saja pemuda malang itu tidak dapat melihat seringai jahil di wajah Kirman, bahkan dirinya menurut saja saat disuruh untuk membuka mulutnya.
Kirman kemudian memasukkan ulat yang bernasib sangat malang itu ke dalam mulut Megi, yang tentu saja langsung membuat pemuda itu terkejut mengingat ulat tersebut seakan menggelitik lidahnya.
Tanpa basa-basi, Megi langsung bangkit dari posisi tidurnya dan melepehkan benda asing yang dimasukkan oleh Kirman ke dalam mulutnya itu. "Aku tahu ulat pohon bisa dimakan, tapi bukan berarti aku akan memakannya hidup-hidup! Apakah kau tidak lihat kalau dia masih menggeliat seperti itu?" omelnya saat ia mengetahui apa yang dimasukkan oleh Kirman sebelumnya.
Kirman kemudian tertawa sebelum menunjukkan beberapa buah beri dari saku celananya. "Baiklah, kali ini aku serius."
Megi pun tersenyum tipis sebelum mencondongkan tubuhnya ke arah pria itu. "Suapi aku, Man."
Pria itu kemudian tertawa sebelum memasukkan buah beri tersebut satu persatu ke dalam mulut Megi. "Bagaimana rasanya?"
"Manis, tapi tidak semanis dirimu."
Kirman kemudian menyentil dahi pemuda itu perlahan. "Jangan menggodaku, Bocah. Anak kecil sepertimu belum waktunya untuk menghadapi romansa."
"Hei, aku sudah 19 tahun! Aku bukan anak kecil!" protes Megi, dirinya bersidekap dada. "Lagipula, apa salahnya jika aku tertarik kepadamu?"
Kirman terbatuk mendengar pernyataan pemuda itu. "Hei Bocah, kita baru saja bertemu beberapa hari dan kau bilang bahwa kau tertarik dengan diriku?"
Megi mengangguk sebelum berdiri, dirinya kemudian menatap ke arah tumpukan kayu yang telah mereka kumpulkan sebelumnya. "Aku tidak merasa ada yang salah dari hal itu. Lagipula, rasa ketertarikan belum tentu perasaan cinta, Pak Tua."
"Aku masih dua puluh empat tahun, hei! Aku belum setua itu untuk dipanggil pak tua!" Kini Kirman yang memprotes, membuat Megi tertawa puas.
"Kalau begitu, kita seri, bukan? Sudahlah, ayo kembali. Jika terlalu lama, Tuan Ubi dan yang lain bisa curiga. Aku tidak mau jika kita sampai terkena amarah mereka." Kirman kemudian mengangguk, menyetujui saran pemuda itu.
"Aku benar-benar iri dengan Edib. Noya memperlakukannya dengan baik, berbanding terbalik dengan kita," celetuk Kirman tiba-tiba.
Megi pun terkekeh. "Mungkin Edib telah memberikannya sesuatu yang berharga sehingga Noya memperlakukannya dengan baik. Ah sudahlah, tidak baik membicarakan orang lain di belakang."
"Kalau begitu, ayo kita berbicara hal ini di depan mereka."
"Astaga, Man. Ternyata umur yang lebih tua belum tentu dapat berpikir dengan baik, ya?"
T. B. C.
So don't forget to vote, spam comments, follow, and share if you like this story!

KAMU SEDANG MEMBACA
KLANDESTIN [Completed]
FanfictionMain cast : Megi (Megane) BxB area! Brutal Legends Universe! Tidak perlu pengakuan dari semesta untuk menyatukan dua insan, cukup keduanya yang mengetahui sebesar apa asmara yang bergejolak di dalam relung hati mereka. Dari hina menjadi terhormat, b...