Risau dalam ketenangan, takut dalam keterdiaman. Emosional yang terbentuk bagai sebuah sel dalam tubuh sempat merajai beberapa menit lalu, sebelum jenis raut datar tak berekspresi itu terpahat sempurna. Tak ada satu pun yang tahu bahwa saat ini, detik ini ia di landa gundah luar biasa yang tak berkesudahan.
Keringat panas dingin yang mengalir di tubuhnya menjadikan gemuruh di dada terasa menggebu tak karuan, tangan berkulit pucat itu hampir bergetar seperti menggigil kendati cuaca betul-betul panas. Terik matahari menusuk kulit tipis itu bagai jarum.
Elisabeth tahu ini salah satu hal paling pecundang dalam hidupnya. Elisabeth tak pernah bertemu orang baru, apalagi jika ia di tempatkan di kerumunan orang banyak semacam ini. Ia bagai seekor anak kucing malang yang kehilangan induk ditengah keramaian, selalu merasa takut dan waspada.
Keadaan ini sulit di kontrol ketika dirinya bahkan tak tahu harus berbuat bagaimana dan apa yang harus ia lakukan untuk kembali pulang. Rasa-rasanya Elisabeth tersesat karena selama tiga-belas-tahun tak pernah lagi menginjakkan kaki di keramaian kota, ada banyak perubahan sehingga ia kebingungan di mana arah jalan pulang.
Ingin bertanya pun rasanya ia terlalu takut bercengkrama dengan orang baru yang begitu asing baginya.
Di setiap kaki yang ia langkahkan, entah mengapa tatapan setiap orang selalu tertuju padanya, bahkan ada yang berbisik. Apakah seaneh itu dirinya? Alam bawah sadarnya berteriak ingin menangis namun enggan ia lakukan, katakan lah Elisabeth tak pernah lagi menangis selama ia di tempatkan di biara. Tak pernah sekali pun sejak belasan tahun silam.
Gadis ini benci di remehkan, ia tak suka dianggap lemah dan tak berdaya, sehingga Elisabeth selalu mematri raut angkuh kendati dalam hatinya ia benar-benar ketakutan dan nyaris pingsan karena serangan panik di tengah keramaian yang selalu menatapnya bagai makhluk asing.
Kilasan kejadian beberapa saat lalu membuatnya muak, Elisabeth muak dengan segalanya yang ada di dunia ini. Dirinya tak ingin menjalani hidup yang menyedihkan, namun ia juga tak ingin mati. Bagai hidup segan mati tak mau.
Elisabeth sempat berkunjung ke kediaman kerajaan tanpa di ketahui oleh siapa pun, kecuali seorang pelayan yang saat itu hendak ke ruang memasak. Sebelum akhirnya ia di buru diam-diam oleh para pengawal karena di tuduh meracuni makanan yang akan di konsumsi oleh Princess Daniella.
Ada beberapa kesalahan dan tuduhan keji yang ia terima di kunjungan pertamanya setelah belasan tahun di asingkan. Elisabeth berkunjung ke sana tanpa tujuan buruk, ia hanya ingin bertemu dengan ayahnya. Tetapi tiba-tiba seorang tester Tuan Puteri mati keracunan setelah mencicipi makanan yang akan di sajikan untuk Daniella.
Rumor bahwa Elisabeth datang, juga seorang tester pribadi Tuan Puteri keracunan seketika sampai ke telinga Ratu. Itu hanya fitnah keji dan sekedar prasangka mereka saja, karena waktunya bertepatan dengan kehadiran Elisabeth di sana. Mereka tak memiliki bukti, tetapi dengan percaya diri mereka meyakini bahwa itu adalah perbuatan Elisabeth.
Sekarang Elisabeth tak tahu harus kemana, kembali ke kediamannya pun rasa-rasanya sudah tak lagi aman.
Ini konyol sekali, Elisabeth seolah buronan di kerajaannya sendiri.
Gadis itu kian menepi dan berjalan menyusuri keramaian tanpa tahu tujuan yang pasti. Elisabeth hanya mengikuti kemana kakinya membawa, ia menyingkir dari orang-orang dan memilih berada di tempat sepi.
Tanpa Elisabeth ketahui, dari jarak 500 meter tempat ia berdiri, bidikan senapan tertuju ke arahnya. Seseorang yang berada di atas bukit terhubung dengan sebuah panggilan dari earpiece di telinga kanannya.
"Target terdeteksi." Pria itu melapor pergerakan target dengan sebelah mata terpejam di saat mata yang satunya mengeker sang target dengan teleskop senapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA: [Cruel]
FanfictionJavier Hidalgo Altissimo Scott. Lelaki berkebangsaan Meksiko---memiliki nama besar di kalangan pebisnis dan politikus---sang mantan pembunuh bayaran profesional berdarah dingin yang telah berhenti dari pekerjaannya, diutus Sergio Pascow untuk menga...