Bagian 1 : Panggilan pulang
Mira menatap layar ponselnya yang bergetar di atas meja kerja. Nama Andi Wirawan muncul di sana. Dia sempat ragu, tapi akhirnya menjawab panggilan itu. Sudah lama banget dia nggak dengar kabar dari Andi, sahabat masa kecilnya di desa.
Mira: "Halo, Ndii! Apaan nih, tumben telepon? Pasti ada apaan?"
Suara di seberang sana terdengar pelan dan agak berat, bikin Mira makin penasaran sekaligus deg-degan.
Andi: "Mir, gue punya kabar buruk... Nyokap lo, dia... udah nggak ada."
Mata Mira langsung melebar, hatinya berdegup kencang. Nyokapnya? Meninggal? Walaupun dia nggak terlalu dekat lagi sama ibunya, berita ini tetep aja bikin dia syok.
Mira:"Hah? Serius lo, Ndi? Kok bisa?
Andi: "Katanya sih serangan jantung, tapi... Mir, lo mending pulang deh. Gue nggak enak nih bilangnya, tapi kayaknya ada yang nggak beres."
Mira menggigit bibirnya, mencoba mencerna apa yang baru aja dia denger. Firasatnya nggak enak. Ada yang nggak bener di sini, dan dia nggak tahu harus bereaksi gimana.
Mira: "Oke, gue pulang besok pagi."
Setelah telepon itu selesai, Mira duduk lemes di kursinya. Pikirannya melayang-layang, nggak karuan. Desa itu, rumah besar keluarganya, kenangan-kenangan masa kecil yang tiba-tiba muncul kembali. Ada rasa takut, tapi juga ada dorongan untuk segera pulang dan melihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
---
Keesokan paginya, Mira bangun lebih awal dari biasanya. Dengan mata yang masih berat karena kurang tidur, dia mulai beres-beres, ngepak baju seadanya ke dalam koper. Pikiran tentang nyokapnya yang meninggal nggak bisa lepas dari kepalanya. Apa benar cuma serangan jantung? Atau ada yang lain?
Dia segera memesan tiket kereta dan berangkat ke stasiun. Perjalanan yang biasanya membosankan kini terasa panjang banget. Sepanjang jalan, dia hanya menatap keluar jendela, tapi pikirannya ada di tempat lain. Rumah itu... rumah yang penuh dengan misteri dan rasa nggak nyaman. Dia inget banget betapa seringnya dia ngerasa takut di sana, padahal nggak ada alasan yang jelas.
Sesampainya di stasiun kecil desa itu, Andi sudah nunggu di luar. Pria itu tampak lebih dewasa sekarang, lebih maskulin dengan jaket kulit yang membuatnya kelihatan cool, tapi tetap aja, ada sesuatu di matanya yang bikin Mira nggak nyaman.
Andi:"Mir, akhirnya lo balik juga. Maaf banget harus kasih kabar kayak gini lewat telepon."
Mira: "Nggak apa-apa, Ndi. Gue malah bersyukur lo yang ngasih tau."
Mereka berdua jalan ke mobil Andi yang terparkir di depan stasiun. Suasana awkward, penuh ketegangan yang nggak biasa. Nggak ada yang ngomong untuk beberapa saat, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Andi sesekali melirik Mira, tapi nggak ngomong apa-apa.
Andi: "Mir, desa ini... udah nggak kayak dulu lagi. Rasanya beda, ada yang... aneh."
Mira menoleh ke arah Andi, alisnya mengerut. Dia bisa ngerasain ada sesuatu yang besar di balik kata-kata Andi, tapi nggak bisa nebak apa.
Mira: "Maksud lo?"
Andi: "Gue nggak tau pasti, tapi kayaknya ada yang nggak bener, Mir. Gue ngerasa ada sesuatu yang gelap di sini, dan entah kenapa, gue yakin itu ada hubungannya sama keluarga lo."
Mira diam, mencerna kata-kata Andi. Rumah itu, keluarganya—dua hal yang selalu terasa penuh rahasia, dan sekarang sepertinya rahasia itu mulai terungkap sedikit demi sedikit.
Mira: "Keluarga gue emang penuh rahasia, Ndi. Tapi gue nggak nyangka kalau sampai kayak gini."
Andi cuma ngangguk, kayak dia ngerti lebih dari yang dia katakan. Perjalanan mereka ke rumah besar itu lanjut dalam keheningan yang makin bikin Mira ngerasa nggak nyaman. Ketika mereka sampai di depan rumah itu, Mira merasakan jantungnya berdegup lebih cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM DIBALIK TIRAI
Mystery / ThrillerSeorang wanita muda bernama Mira kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun pergi. Dia mewarisi sebuah rumah besar dari keluarganya yang kaya raya namun penuh kontroversi. Di balik tirai-tirai berat dan dinding-dinding tebal rumah itu, ter...