05. Dokter

40 21 6
                                    

"Agar tidak dimanfaatkan oleh orang lain, jadilah orang yang tidak bermanfaat."Shaga Arsenio.
___

Shaga dan iblis itu keluar dari sana, dia kembali ke kampus dan menoleh pada iblis itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Shaga dan iblis itu keluar dari sana, dia kembali ke kampus dan menoleh pada iblis itu. “Jangan berbuat hal yang tidak wajar saat berada di rumahku, karena di sana ada orang tuaku.”

Iblis itu hanya tersenyum sinis, bibirnya terangkat membentuk lengkungan yang dingin dan mencekam, menampakkan deretan gigi yang tajam dan kekuningan. Matanya yang biasanya redup dan kosong, kini menyala-nyala dengan api yang tak terjelaskan, seperti bara api neraka yang terkurung dalam cangkang tulang. Cahaya merah menyala itu berkedip-kedip, menari-nari di balik pupilnya yang hitam pekat, seakan-akan mencengkeram jiwa Shaga, menariknya ke dalam jurang kegelapan yang tak terukur, meskipun tubuhnya terluka parah dengan luka menganga yang masih mengeluarkan darah biru. Namun, di balik mata iblis itu, Shaga melihat keinginan yang tak tertahankan, keinginan untuk mencabik-cabiknya dan menelan jiwanya bulat-bulat.

“Baiklah, asalkan kau menepati janjimu. Kau harus memberiku darah sebelum fajar terbit. Darah yang segar, hangat, penuh dengan kehidupan, dan darah yang akan membantuku terus berada di dunia ini, serta darah yang akan membantuku melepaskan diri dari belenggu neraka.” Matanya yang menyala-nyala itu menatap tajam ke arah Shaga. Seolah ingin menembus jiwanya, mencari kelemahan dan keraguan. Napas Shaga tersengal, dadanya terasa sesak, dia tahu dia telah terjebak dalam perjanjian yang mengerikan, perjanjian yang akan menguras seluruh keberaniannya.

Wajah iblis itu terdistorsi oleh luka-luka mengerikan, menunjukkan ekspresi yang sulit diartikan, campuran antara keputusasaan dan haus darah yang tak terpadamkan. Shaga merasakan hawa dingin menjalar di tulang punggungnya,  seolah-olah iblis itu telah menancapkan cakarnya ke dalam jiwanya.

Shaga berjalan menuju ke parkiran, langkahnya berat dan ragu-ragu. Di sampingnya, iblis itu berjalan dengan langkah yang lebih ringan, meskipun tubuhnya terluka parah. Setiap langkahnya meninggalkan jejak darah biru pekat di atas aspal. Shaga bisa merasakan tatapan iblis itu, tatapan yang dingin dan haus akan darah. Itu  mengingatkannya pada perjanjian mengerikan yang telah mereka buat. Dia mencoba untuk tidak menatap iblis itu,  mencoba untuk tidak memikirkan apa yang akan terjadi saat fajar terbit. Namun, bayangan iblis itu yang menjulang tinggi di sampingnya terus menghantui pikiran Shaga, dia ingat pada kenyataan pahit bahwa dia telah terjebak dalam permainan yang mematikan. Darah biru itu terus menetes dari luka-luka iblis tingkat dua. Berkilat di bawah cahaya rembulan,  seolah-olah menandakan bahwa iblis itu bukanlah makhluk biasa, melainkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan dan berbahaya.

Setelah mereka sampai di parkiran, Shaga berjalan ke arah mobilnya yang berwarna hitam, seolah-olah tertarik oleh magnet yang tak terlihat. Mobil itu yang biasanya menjadi simbol kebebasan, kini terasa seperti peti mati yang menanti untuk menelan dirinya. Dia bisa merasakan tatapan iblis itu di punggungnya. Shaga mencoba untuk tidak mempercepat langkahnya, mencoba untuk tidak menunjukkan rasa takut, tetapi tangannya gemetar saat dia meraih gagang pintu mobilnya. Apalagi suasana di kampus sepi, tak ada satu orang pun yang terlihat, seolah-olah mereka berdua adalah satu-satunya makhluk hidup yang tersisa di dunia ini.

Shaga duduk di kursi mobil, tubuhnya terasa lemas dan dingin. Dia langsung memakai sabuk pengaman, seolah-olah ingin mengikat dirinya sendiri agar tidak melarikan diri. Shaga ingin menoleh ke belakang untuk melihat iblis itu dan memastikan bahwa iblis itu benar-benar ada di sana. Namun, dia tak berani menatap mata iblis itu, takut akan kekuatan yang terpancar dari dalamnya. Tanpa membuka pintu, iblis itu langsung menembus pintu mobilnya, seolah-olah terbuat dari udara.

“Jangan takut. Aku hanya ingin kau menepati janji.”

Shaga menelan ludah, suaranya tercekat di tenggorokan. Dia mencoba untuk berbicara, mencari kata-kata yang tepat untuk menghadapi iblis itu, tetapi lidahnya terasa berat, seolah-olah terikat oleh rantai tak kasat mata.

“Asal kau tahu, aku tidak pernah mengingkari janji pada siapa pun. Aku selalu menepati janjiku, bahkan pada mereka yang tak pantas mendapatkannya.” Shaga berusaha keras untuk menunjukkan bahwa dia tidak akan mudah menyerah. Namun, dia bisa merasakan keringat dingin menetes di keningnya.

Shaga menyalakan mobilnya, lampu depan mobil menerobos kegelapan malam, menciptakan dua berkas cahaya yang membelah keheningan. Di luar,  bayangan pohon-pohon menari-nari di atas aspal, seolah-olah diiringi oleh angin malam yang dingin. Langit malam dihiasi oleh bintang-bintang yang berkelap-kelip, menciptakan pemandangan yang menakjubkan. Akan tetapi, bagi Shaga seolah-olah bintang-bintang itu sedang menyeringai seraya meledek padanya.

“Kau tidak akan pernah bisa lari dariku, karena kau sudah berjanji akan memberikanku darah,” ujar iblis itu.

“Aku tidak ingin lari. Aku ingin membantumu,” ucap Shaga.

Iblis itu terdiam, tatapannya yang dingin dan haus akan darah, kini berubah menjadi ekspresi yang sulit diartikan, campuran antara keheranan dan kecurigaan. “Membantuku? Bagaimana kau bisa membantuku? Aku tak bisa disembuhkan dan tak bisa diubah,” tanyanya.

“Aku tahu, tapi aku akan mencoba. Aku akan mencari cara untuk meringankan rasa sakitmu dan menyembuhkan lukamu. Jika aku tak sanggup melakukannya, aku menganggap bahwa diriku tak pantas menjadi seorang dokter,” jawab Shaga.

Iblis itu tertawa, tawa yang dingin dan menusuk, seperti suara serpihan kaca yang bergesekan. “Kau terlalu naif. Kau tidak mengerti apa yang kauhadapi.”

“Apa salahnya mencoba, ‘kan? Kau sudah terluka parah, aku tidak bisa melihatmu menderita begitu saja. Aku tahu, aku mungkin tidak bisa menyembuhkanmu sepenuhnya, tapi setidaknya aku bisa meringankan rasa sakitmu dan mampu membuatmu merasa sedikit lebih nyaman. Aku tidak berharap kau akan berterima kasih atau bahkan menghargai usahaku, tapi aku akan tetap melakukannya, karena aku percaya, bahkan makhluk seperti dirimu pun pantas mendapatkan sedikit kebaikan.” Shaga tersenyum manis, sebuah senyuman yang dipaksakan. Ia berusaha menyembunyikan rasa takut yang menggerogoti hatinya. Dia tahu,  senyuman itu terlihat lemah dan tidak meyakinkan, tetapi dia mencoba untuk menunjukkan bahwa dia tidak takut, dia siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Dia bisa merasakan tatapan iblis itu yang masih dingin. Namun, dia tetap tersenyum, dia yakin pada dirinya sendiri bahwa dia bisa melakukan ini, sanggup membantu iblis itu, dan mampu selamat dari situasi ini.

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Shaga, kamu terlalu baik 😾

Harusnya iblis juga diperlakukan seperti iblis.

Luka Jubah Putih [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang