Pagi belum benar-benar terang saat dering notifikasi pertama menggetarkan meja kecil di samping kasur. Suaranya lirih, hampir tertelan keheningan kamar, tapi cukup untuk mengabarkan bahwa hari, sekali lagi, harus dimulai.Aurelia sudah terjaga sebelum alarm berbunyi, seperti biasa. Tidur baginya bukan lagi istirahat, melainkan jeda singkat dari kesadaran yang menyesakkan. Ia tidak benar-benar terlelap semalam—seperti malam-malam sebelumnya. Namun wajahnya tak pernah memperlihatkan sisa-sisa lelah. Tidak ada sembab. Tidak ada mata panda. Hanya pucat yang pelan-pelan menjadi warna kulit hariannya.
Ia duduk diam di tepi tempat tidur, punggungnya tegak, pandangannya lurus ke depan, menatap dinding kosong seolah menunggu sesuatu muncul dari sana. Tapi dinding itu tetap diam. Tak menawarkan hiburan, apalagi jawaban.
Ruangan itu sempit dan nyaris hampa dari benda-benda pribadi. Tidak ada foto keluarga. Tidak ada poster motivasi. Tidak ada tumpukan barang yang menunjukkan kehidupan. Hanya ada meja belajar, sebuah kursi kayu, dan lemari kecil yang tertutup rapat. Kamar kos yang fungsional—efisien, dan terlalu sunyi.
Tapi tidak untuk Aurelia.
Kamar itu tak pernah benar-benar sunyi. Ada dengungan kulkas mini di sudut ruangan, pelan tapi terus-menerus. Ada bunyi air dari galon dispenser yang sesekali meletup. Dan tentu saja, detik jam yang terdengar biasa bagi orang lain, namun di telinga Aurelia terdengar seperti palu besi yang menghantam nadi waktu.
Tik. Tik. Tik.
Satu per satu, suara-suara dari luar juga mulai menyusup masuk: klakson sepeda motor yang masih jauh di ujung jalan, suara sandal menyeret dari lantai bawah, dan batuk kecil dari penghuni kamar sebelah. Semuanya tidak keras, tapi semuanya terlalu nyaring.
Di dalam kepalanya, suara-suara itu membentuk panggung. Mereka bukan sekadar bunyi, melainkan tokoh-tokoh yang berebut panggung, berteriak satu sama lain, mengguncang konsentrasi, mencabik ketenangan yang hanya sebentar datang.
Aurelia mengedip pelan. Ia menarik napas panjang, membiarkannya memenuhi dada sampai terasa sesak. Lalu ia menghembuskannya perlahan, seakan mencoba melepaskan sesuatu yang menempel terlalu erat di tulang rusuk.
Ponselnya bergetar sekali, lalu diam.
"Gue otw. Tunggu di bawah ya."
Nama pengirimnya: Radit.Ia menatap layar itu selama beberapa detik. Tak ada senyum. Tak ada perasaan berbunga seperti yang sering digambarkan orang-orang saat mendapat pesan dari kekasih. Bukan karena ia tak sayang, tapi karena ekspresi itu tak pernah mudah hadir di wajahnya.
Ia memejamkan mata, lalu bangkit. Bergerak tanpa suara menuju kamar mandi. Setiap langkahnya ringan, nyaris tak terdengar di lantai keramik yang dingin. Ia tahu caranya berjalan sunyi—terlalu tahu.
Di depan cermin kamar mandi, ia menatap dirinya sendiri. Ada bayangan lelah di mata yang tidak sempat tidur. Rambutnya di sisi kanan mulai menipis. Ia menyisirnya pelan, menyembunyikan bagian yang kosong di balik helaian lainnya.
Tangan kanannya sempat terangkat—refleks lama yang belum sembuh. Tapi kali ini ia menahan diri. Tidak sekarang. Tidak pagi ini.
---
Radit sudah menunggu di atas motor saat Aurelia muncul dari pagar kos. Ia duduk santai, satu kaki menapak di tanah, yang lain menggantung di pedal. Helm hitam tergenggam di tangan kirinya. Jaketnya setengah terbuka, memperlihatkan kaus abu-abu yang sedikit kusut.
Saat melihat Aurelia, Radit menyunggingkan senyum kecil. “Pagi,” sapanya. “Lo udah siap?”
“Udah,” jawab Aurelia singkat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak yang Hilang (END)
General FictionWarning 15+ | Trigger: mental health, self-harm (trichotillomania) Di balik kamar kos yang senyap dan lampu meja yang remang, seorang gadis menatap dirinya sendiri dalam cermin. Wajahnya cantik, tapi tak utuh. Matanya sayu, bibirnya diam, dan tangan...