Najwa yang begitu lemah, masih berada di dalam warung kosong. Menutup wajahnya yang basah dengan dua tangannya. Ia tak berhenti menangis dan meratapi nasibnya yang malang.
Rasa ingin mati begitu kuat, mendorongnya bangkit perlahan-lahan. Berjalan sempoyongan keluar dari warung.
Ia menyeret langkahnya yang terasa berat, begitu remuk badannya dan putus asa dalam hatinya.
Dua kakinya terseok-seok menuju sebuah sumur tua di tengah pekarangan belakang warung kosong. Pikirannya sudah gelap. Yang dipikirkannya hanya ingin mati menyusul bapak dan ibunya yang meninggal kecelakaan saat usianya masih 6 tahun.
Sampai di dekat sumur tua, Najwa ingin langsung menjatuhkan diri ke bawah sana.
"Maafkan aku, ibu ... Bapak ...." Isak tangisnya begitu memilukan. Selangkah maju, maka ia akan jatuh ke sumur tua yang sangat dalam.
Petir menggelegar, menyambar pohon kelapa tak jauh darinya membuat Najwa refleks berteriak dan memundurkan kakinya.
Jika dirinya mati, pria yang sudah merenggut kesuciannya itu akan melenggang bebas di luaran sana dan bisa jadi dia akan melakukan kejahatan yang sama pada wanita lain.
Tiba-tiba, ada pikiran lain yang melintas. Membuatnya semakin memundurkan kakinya dari sumur tua.
Seharusnya ia mengungkap kejahatan dua pria itu dan melapor pada polisi. Bukan bunuh diri. Bukankah meninggal karena bunuh diri adalah dosa besar? Begitu yang Najwa pernah dengar ceramah Ustaz di TV.
Remaja 15 tahun yang sudah tak perawan itu menutup wajah. Mengurungkan niatnya untuk bunuh diri meski merasa hidupnya kini hancur. Ia tak ingin mati konyol.
"Aku tak boleh mati! Merekah harus dihukum!" pekik Najwa. Ada kekuatan datang begitu saja di tengah kelemahannya.
Ia harus melaporkan dua orang itu ke polisi! Harus!
Najwa mencoba mengingat ciri-ciri pria tak dikenal itu. Yang diingatnya, ada tato di lengan kanan pria yang sudah menodainya. Najwa sempat melihat saat pria itu menggulung kemeja sebelum menodainya.
Pria yang dipanggil bos sangat bejat. Pantas jika dilaporkan ke polisi. Pun temannya yang bantu memeganginya. Mereka berdua harus mendapatkan hukuman yang setimpal.
Najwa semakin mantap akan melaporkan keduanya ke polisi.
Namun, kalau dilaporkan ke polisi, ia dan keluarga Bu Mira diancam. Bagaimana ini? Meski Bu Mira temperamental, ia masih sudi menampungnya yang hanya sebatang kara. Tak mungkin juga ia ingin membahayakan Bu Mira juga dua anaknya Susi dan Susan.
Najwa bimbang luar biasa. Tak tahu harus bagaimana dengan kejadian keji yang sudah merenggut keperawanannya.
Remaja itu hanya lulusan SD, tidak punya teman akrab. Tidak banyak kenal orang-orang di sekitarnya karena sejak usia dini sudah sibuk membantu Bu Mira jualan.
Pada siapa harus meminta tolong? Sedangkan mau bercerita pada Bu Mira, takut tidak percaya, takut diusir dikira berbuat yang tidak senonoh, dan tentu takut orang yang menodainya mengawasinya sehingga membuatnya dan keluarga Bu Mira dalam bahaya.
Najwa menghormati Bu Mira. Seperti apa pun perangai wanita itu, tak mungkin ia ingin membuatnya celaka.
Dua tahun pandemi Covid 19, perekonomian Bu Mira sangat seret. Warung gorengannya sepi pembeli, pun gorengan yang sekaligus dijajakan Najwa, kadang hanya laku sedikit, tak balik modal membuat wanita gemuk itu terus saja uring-uringan karena susahnya biaya hidup.
Bu Mira dulu adalah tetangga Najwa di salah kontrakan sebelum bapak ibunya kecelakaan dan merenggut nyawa orang tuanya tersebut.
Tak ada yang mau merawat Najwa, orang tuanya sama-sama anak tunggal. Tak punya saudara. Bu Mira akhirnya yang membawa Najwa ke tempat baru. Rumah yang dibeli Bu Mira dari hasil menabung uang tak seberapa sebelum suaminya meninggal. Rumah sempit yang jauh dari tetangga. Di depannya hanya jalan kecil, membuat warungnya sepi pembeli.
Bu Mira hanya mampu menyekolahkan Najwa sampai SD. Sementara anak kembarnya Susi dan Susan sekarang sudah kelas 12 di salah satu sekolah negeri.
Najwa tak pernah iri. Pun saat ia harus ikut membantu berjualan, sedangkan si kembar Susi dan Susan tidak ikut menjajakan gorengan, Najwa Shafira tidak keberatan.
Najwa menyeret langkah, ke warung kosong, trauma melihat ke dalam warung. Tapi, tak ada pilihan lain, ia mengambil gorengan yang sebagian tercecer di lantai kotor masuk kembali ke plastik.
Ia meraba-raba mencari dompet yang isinya uang hasil gorengan sambil terus menangis. Setelah itu, Najwa berjalan pulang. Hujan tinggal rintik-rintik saja, mengiringi langkah pelan Najwa yang diiringi rasa sakit lahir batin.
"Jam segini baru pulang, hah?" Bu Mira langsung ngomel melihat Najwa pulang sambil menunduk, menenteng plastik berisi sisa gorengan yang masih banyak.
"Ma-af, Bu ... hujan deras, lakunya sedikit." Najwa semakin menunduk, menyembunyikan matanya yang sembab. Ia ketakutan, tak mau memberitahukan sudah diperkosa oleh seseorang yang tidak dikenalnya. Mentalnya down banget. Kalau tak ingat mati bunuh diri itu dosa, Najwa sudah menjatuhkan diri ke sumur tua.
"Ya sudah, cepat masuk!"
"Iya, Bu." Najwa meletakkan sisa gorengan di atas meja berikut uang hasil penjualan.
Bu Mira memeriksa gorengan dan uangnya. "Ini kenapa ada yang kotor!"
Najwa kaget meski sering mendengar suara Bu Mira yang melengking tiap hari. Malam ini, perasaannya sangat sensitif.
"I-itu, saya tadi jatuh, Bu." Najwa memberikan alasan. Tubuhnya semakin gemetar.
"Hadeh! Makanya hati-hati! Kenapa jalan kakinya ngakang gitu?" Bu Mira memperhatikan langkah Najwa yang tidak seperti biasanya.
"Sa-kit," sahutnya menahan perih saat berjalan.
"Sakit kenapa?" Bu Mira memperhatikan wajah Najwa yang basah dan sembab.
"Saya habis jatuh." Itu lagi yang jadi alasan Najwa. Ia terpaksa berbohong. Ada ketakutan yang terus menyelinap di pikirannya. Takut dua pria itu benar-benar menyakitinya dan keluarga Bu Mira.
Bu Mira tidak bertanya lebih lanjut meski tahu Najwa seperti habis menangis. Dikira menangis karena terjatuh seperti ucapan Najwa.
Masuk kamar, Najwa melanjutkan menangis, tangisan tanpa suara. Tak ingin isaknya didengar Susi dan Susan di kamar sebelah, Najwa menutup mulutnya meratapi nasibnya.
❤❤❤
Rama tidak bisa tidur, dia keluar dari kamar. Menuju depan kamar Devano dan mengetuk pintunya. Beberapa kali mengetuk, Devano tidak kunjung membuka pintu karena pria itu sudah tidur .
Devano lamat-lamat mendengar suara ketukan. Ia memicingkan mata, lalu menggerutu. Karena ketukan di pintu tak kunjung berhenti, Devano bangun dan berjalan untuk membuka pintu.
"Apa, Ram?" tanya Devao malas setelah membuka pintu, lalu menutup mulutnya yang menguap melihat Rama berdiri di depan pintu.
"Bos, aku khawatir." Rama masuk meski tanpa dipersilakan sembari menghela napas berat.
"Khawatir apaan, sih?" Devano menyahut cuek. Tak suka Rama datang mengganggu tidurnya.
"Aku takut, wanita yang kau nodai melaporkan kita ke polisi." Rama menatap tajam.
Devano berdecak, menyugar rambutnya yang masih agak basah sehabis keramas tadi. "Dia tidak akan mengenali kita. Toh, besok kita sudah pulang." Devano menjawab enteng.
"Meskipun begitu, polisi bisa dengan mudah menemukan kita." Rama melihat sahabatnya yang begitu santai seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Sungguh terlalu!
"Nggak akan, gadis itu tak akan mengenali kita. Motor yang kita bawa hanya motor sewaan, aku yakin dia tak sempat mengenali pelatnya."
"Gadis apanya? Bos lupa telah merenggut keperawanannya? Dan iya, motor yang kita bawa cuma sewaan dan itu pakai KTP-ku saat kita menyewanya tentu mudah dilacak alamat rumahku. Huh!" keluh Rama. Penyesalannya makin menjadi, membayangkan hidupnya ke depan bakalan tidak tenang akibat ulah Devano.
Mendengar Rama mengatakan gadis itu sudah direnggut keperawanannya, pikiran Devano seketika terbawa ke suasana saat remaja cantik itu dinodainya.
"Jangan berpikir seruwet itu, Ram. Nggak udah dibahas, santai aja." Devano tertawa lepas sambil memegangi perutnya.
Kurang ajar banget! Rama mengumpat dalam hati.
"Kasihan remaja itu, mana aku lupa mau bayar gorengannya. Lengkap sudah penderitaannya." Pikiran Rama menerawang, ingat binar mata remaja itu saat mendengar gorengannya akan diborong. Nyatanya, dinodai oleh Devano dengan kejam.
"Kita nggak makan gorengannya." Devano mengangkat bahu, cuek.
"Nggak makan gorengannya tapi makan orangnya. Kenapa bisa setega itu, Bos?" Rama melepas napas berat.
"Kamu sama teganya, ikut memegangi dia. Sudahlah, balik ke kamarmu atau aku tidak akan transfer biaya pengobatan ibu dan ayahmu." Devano mengancam.
"Bos bisa meniduri wanita-wanita high class dengan uang Bos yang banyak itu. Aku heran ... kenapa malah menodai penjual gorengan?" Ada rasa sesak di dada Rama. "Dia bukan selera Bos, kan? Atau selera Bos turun dari wanita berkelas ke wanita penjual gorengan?" sindir Rama.
"Kok baru sekarang tanya begitu? Kamu nggak ingat waktu berteduh di warung kosong itu aku nonton film blue, jelas aku kepengin, saat itu juga." Devano menatap garang.
"Bukan berarti harus menodai, Bos!" Nada suara Rama agak meninggi membuat Devano mengeratkan rahang.
"Ya sudah, aku hentikan membantu biaya pengobatan ibu dan ayahmu!" Devano membentak sambil berkacak pinggang. Ia jadi kesal pada Rama.
"Jangan begitu juga kali, aku tetap butuh bantuanmu, Bos. Hanya ... aku mulai takut, takut dicari polisi, takut nanti dapat karma."
"Karma? Tak ada karma yang akan datang padaku!" Devano menepuk dada bidangnya. Menyombongkan diri.
"Okelah, jika Bos berpikir begitu." Rama keluar dari kamar Devano dengan wajah masam.
Devano tak percaya karma. Ia sudah lama tidak salat dan tidak melaksanakan ibadah apa pun sesuai perintah agamanya. Hidupnya hanya untuk makan, tidur, dan bersenang-senang. Baginya, hidup harus dinikmati tanpa mengikuti banyak aturan.
Devano memang punya banyak uang. Tanpa bekerja pun, mamanya selalu mentransfer sejumlah uang tiap bulan. Uang yang diberikan mamanya digunakan bersenang-senang dengan beberapa wanita, tanpa ketahuan Clara pacarnya. Dengan uang itu ia juga membiayai kuliah Clara.
Ia bebas ke klub malam, bisa traveling ke mana pun saja, dan dari uang itu ia masih bisa membantu Rama, karena keluarga Rama bangkrut sejak papa dan mamanya sakit dengan utang ya menumpuk.
Devano kembali ke tempat tidur, telentang. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar hotel. Tapi, pikirannya kembali ke warung kosong, saat menodai remaja penjual gorengan.
Air mata remaja yang ia nodai tanpa sengaja tersentuh dua tangannya ketika ia dengan kasar membuka penutup yang membekap mulut remaja cantik itu.
"Kamu akan dapat karma! Kamu akan dapat karma!"Suaranya terngiang-ngiang di telinga Devano.
Devano menyunggingkan senyum miring. "Karma apa? Hah? Bilang saja suatu saat kamu akan kepengin lagi dan ingin mengulangi malam ini," desis Devano. Seolah-olah bicara dengan wanita yang telah dinodainya.
Bersambung
Baca cerita ini lengkapnya di aplikasi Karyakarsa, sudah tamat. Cari judulnya agar mudah atau cari akunku Suci Fitria (@sucifitria28)
KAMU SEDANG MEMBACA
KESUCIANKU DINODAI PRIA BERTATO
RomanceMalam itu Najwa, remaja penjual gorengan berteduh dari hujan deras di sebuah warung kosong. Di sana ada dua pemuda yang juga berteduh. Najwa, tak menyangka malam itu adalah malam naas baginya, karena salah satu pria tak dikenal itu menodai kesuciann...