Bagian 3: Elias Arkana

491 44 0
                                    

Mahira menghela napas panjang sembari membereskan bukunya di perpustakaan. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, dan ia baru menyelesaikan penelitian untuk tugas akhir. Perutnya keroncongan, mengingatkan bahwa ia belum makan sejak siang.

Saat berjalan keluar perpustakaan, Mahira melihat Dara sedang berbicara dengan seseorang di dekat pintu masuk. Ia mengenali sosok tinggi itu sebagai Elias, kakak Dara.

"Mahira!" Dara melambai, membuat Mahira menghampiri mereka. "Baru selesai belajar?"

Mahira mengangguk, tersenyum lelah. "Ya, penelitian untuk tugas akhir. Kau sendiri?"

"Aku baru selesai kelas malam," jawab Dara. "Oh ya, ini kakakku, Elias. Kalian sudah pernah bertemu kan?"

Elias mengangguk pelan, matanya menatap dalam Mahira. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Mahira sedikit tidak nyaman. "Hai, Mahira. Sudah lama tidak bertemu."

"Hai, kak Elias," balas Mahira sopan.

"Kak Elias baru saja menjemputku," jelas Dara. "Mahira, kau mau ikut makan malam bersama kami? Ada restoran baru di dekat sini yang ingin kucoba."

Mahira ragu sejenak. Ia memang lapar, tapi ia merasa canggung berada di dekat Elias.

Seolah membaca pikirannya, Elias berkata, "Ayolah, kau pasti lelah setelah belajar seharian. Makanan akan membuatmu merasa lebih baik."

Nada suara Elias terdengar... memaksa? Atau mungkin hanya perasaannya saja.

"Baiklah," Mahira akhirnya setuju.

Mereka berjalan menuju parkiran, dengan Dara berceloteh riang tentang kelasnya hari ini. Mahira berjalan di belakang Dara dan Elias, ia tidak bisa mengenyahkan perasaan bahwa Elias sesekali melirik ke arahnya.

Di restoran, mereka duduk di meja dekat jendela. Elias duduk berhadapan dengan Mahira, sementara Dara di sampingnya.

"Jadi, Mahira," Elias memulai percakapan setelah mereka memesan makanan. "Kudengar dari Dara kau sedang mengerjakan tugas akhir. Tentang apa?"

"Oh, um, tentang pengaruh media sosial terhadap perilaku remaja," jawab Mahira.

Elias mengangguk, tampak tertarik. "Topik yang menarik. Pasti banyak data yang harus kau analisis."

"Ya, begitulah," Mahira tersenyum kecil.

"Ngomong-ngomong," Elias melanjutkan, "aku sering melihatmu di kampus belakangan ini. Kau sering pulang malam ya?"

Mahira terdiam sejenak. Elias sering melihatnya? Ia tidak ingat pernah berpapasan dengan Elias di kampus, terlebih lagi bukankah jarak antara fakultas Psikologi dan Kedokteran Hewan sangat jauh?

"Ah, ya... tugas akhir memang menyita banyak waktu," Mahira menjawab akhirnya.

"Kau harus hati-hati," kata Elias, matanya menatap lurus ke mata Mahira. "Berbahaya seorang gadis pulang sendirian malam-malam."

Ada sesuatu dalam cara Elias mengatakannya yang membuat bulu kuduk Mahira meremang.

"Ah, kak Elias selalu begitu," Dara tertawa kecil. "Dia terlalu protektif."

Percakapan berlanjut dengan topik-topik ringan, tapi Mahira tidak bisa mengenyahkan perasaan tidak nyaman setiap kali Elias menatap atau berbicara padanya.

Setelah makan malam, Elias menawarkan untuk mengantar Mahira pulang.

"Tidak usah," Mahira menolak halus. "Apartemenku dekat dari sini. Aku bisa jalan kaki."

"Kau yakin?" tanya Elias, alisnya terangkat. "Sudah malam. Biar kuantar saja."

"Tidak apa-apa, sungguh," Mahira bersikeras. "Terima kasih untuk makan malamnya."

Sepanjang perjalanan pulang, Mahira tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ia sedang diawasi. Beberapa kali ia menoleh ke belakang, tapi jalanan sepi.

Sesampainya di apartemen, Mahira cepat-cepat mengunci pintu. Ia menghela napas lega, merasa aman di dalam rumahnya sendiri.

Tapi rasa aman itu tidak bertahan lama. Saat hendak menutup tirai jendela, matanya menangkap sesuatu yang membuatnya membeku.

Di tiang lampu jalan di seberang apartemennya, berdiri sosok tinggi yang tampak familiar. Sosok itu berdiri diam, menatap ke arah jendela Mahira.

SHADOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang