Berpuluh-puluh tahun hidup dalam kegelapan. Entah kapan ini akan berakhir. Seluruh manusia mempertanyakan kemana cahaya pergi. Ini tentang ketidakpastian. Persetan. Manusia berharap lebih. Tidak ada yang bisa diharapkan. Belum tentu takdir akan diub...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
“Langit,” panggil Shine pada seorang lelaki yang terlihat tak melakukan apa-apa selain menatap layar ponselnya.
“Hm?”
Bahkan manusia acuh tak acuh itu sama sekali tak memandang wajahnya. Shine yang baru saja mengambil buku dari rak itu langsung menendang kaki Langit. Mata mereka saling bertemu, kemudian Langit segera memasukkan handphonenya dan bergegas mengerjakan apa yang disuruh.
“Udah aku ambil. Mau kemana?” tanya Shine dengan wajah tanpa ekspresi itu.
“Lo udah ambil? Kenapa nggak bilang?” ucap Langit kesal ketika buku yang seharusnya ia pinjam malah berada di tangan perempuan itu.
“Kamu lambat. Ditungguin Kak Mashino di sana, cepet.” Shine memandang tajam Langit lalu berjalan menuju deretan kursi dan meja panjang di ujung ruang perpustakaan itu. Meninggalkan Langit memandang punggung Shine dari kejauhan.
Lelaki itu lantas memasang earphonenya kemudian menghampiri kedua temannya yang sudah duduk manis di salah satu bangku. Ia langsung duduk di samping Shine dan meletakkan kepalanya di atas meja.
“Huft… bulan depan kita dipindah ya?” celetuk Mashino di saat dua manusia es itu sibuk dengan dunianya.
“Tapi… gue masih belum yakin buat pindah.” Mashino kembali berkata.
“Karena mantan anggota Adelweys itu? Dia lemah, jangan dipeduliin…” Shine ikut menyahut usai menyimak singkat.
“Aiden nggak lemah. Dia belum bisa gunain kekuatannya,” jawab Mashino.
“Sama aja. Kekuatannya terlalu kuat dan si lemah itu belum bisa naklukin. Cih,” ucap Langit kembali mengangkat kepalanya.
Tak berselang lama, sepasang iris mata hazel itu melihat seorang perempuan di depan rak yang sama dengan dirinya. Ia mengangkat tangannya lalu melambai pada manusia berambut sepanjang bahu.
Seketika Marry langsung menoleh. Gerak tangannya terhenti. Sorot mata menatap kumpulan manusia pada salah satu bangku lebar di hadapannya. Merasa terpanggil, dirinya memutuskan untuk menghampiri mereka.
“Duduk.” Shine langsung menyuruh Marry untuk singgah dulu. Perempuan itu duduk di bangku lebar lain, menunggu seseorang datang.
“Mantan kandidat ketua Fimor kan?” sapaan yang dilontarkan Langit, lagi-lagi membuat Marry kesal. Walau hanya candaan, tapi itu selalu diucapkan.
“Nggak lucu,” timpal Marry.
“Lucu, kenapa yang konsepnya udah mateng malah dikalahin sama yang nggak bisa apa-apa,” ucap Shine dengan nada lempeng tanpa dosa.
“Kalian keterlaluan. Dia ada di belakang,” jawab Marry di saat Aileen berjalan dengan santai di belakang sembari membawa setumpuk buku dan sebuah laptop.