BAB 1 - Sticky note

866 88 99
                                    

Pagi di Milan menjadi salah satu waktu favoritku. Tidak ada satu momen yang ingin aku lewatkan di sini. Pagi di kota ini terasa begitu hidup. Cahaya matahari pagi yang terik menembus menara-menara katedral yang tinggi, kegagahannya mengisi langit kota menjadi lebih elok. Jalanan yang lengang perlahan mulai dipenuhi oleh turis dan warga lokal. Suara langkah kaki para pekerja yang mulai beraktivitas terdengar, diikuti dengan gemerincing sepeda yang melintas.

Aku menaiki taksi menuju Via Monte Napoleone, sebuah kawasan yang terkenal dengan butik-butik pakaian desainer ternama. Aku terpesona dengan kenyataan bahwa nama-nama besar seperti Giorgio Armani, Versace, dan Prada pernah mendirikan butik mereka di sini. Mimpi para legendaris untuk memperlebar sayap mereka di kancah global, di mulai dari sini. 

Bukankah itu indah? Cerita legendaris mereka di mulai dari jalanan sempit ini, jalanan biasa yang berubah populer karena bergerak maju dari waktu ke waktu melewati setiap musim. Tempat yang bersejarah bagi mereka.

Setiap orang memiliki Via Monte Napoleone-nya masing-masing. Tempat yang selalu menjadi saksi dalam kisah-kisah mereka. Bisa jadi itu adalah rumah di ujung jalan, kafe kecil di sudut kota, atau sebuah taman yang sering mereka kunjungi saat masih muda. Tempat-tempat remeh yang ternyata menggambarkan tentang siapa kita, tentang bagaimana kita tumbuh, dan tentang siapa kita impikan untuk menjadi.

Dan untukku, tempat itu adalah Milan. Tempat pertama kali aku merasakan kehadirannya dengan benar, di jalanan asing Milan yang bahkan aku tidak tahu namanya. Saat itu hujan turun lebat, mengajak kita berdua bermain hujan. Malam yang ramai dengan manusia, namun manusia yang kulihat hanya dia. Aku hanya berada sebentar di Milan saat itu, tapi aku berterimakasih dengan sangat karena Milan mempertemukanku dengannya. Milan, dengan segala kenangannya. Sekarang aku bingung, tempat bersejarah dalam hidupku itu Milan atau Juan.

🦋🦋🦋

Di sepanjang jalan, beberapa kafe berdiri berjajar rapi. Sebagian bangkunya telah diisi oleh pelanggan yang bersiap untuk memulai hari. Aroma kopi espresso yang pekat memenuhi indra penciuman Nada, menggoda untuk singgah. Dan tentu saja dia memutuskan untuk mampir, memesan secangkir espresso freddo dengan extra susu seharga 7,50 euro.

Saat menunggu pesanan, Nada memperhatikan keluarga kecil yang duduk tepat di depannya. Mereka bercanda tawa riang, bahkan saat melakukan hal sepele seperti memilih menu makanan. Nada iri. Keluarganya jarang menghabiskan waktu bersama. Terakhir kali berkumpul, saat Nada berumur sepuluh tahun.

Dalam darah Nada mengalir dua kebangsaan, Indonesia dan Italia. Ayahnya yang lahir di Milan jatuh cinta pada Bundanya, wanita cantik dengan kulit kuning langsat keturunan Jawa. Mereka memulai hubungan dekat, saat magang di salah satu perusahaan asing yang berada di Ibukota saat itu. Pernikahan mereka melahirkan seorang anak perempuan mungil dengan berat kurang dari tiga kilogram.

Nada Nasera Caltagirone.

Sewaktu umurnya masih kanak-kanak, Ayahnya pernah mengajak sekeluarga untuk mengunjungi kampung halamannya, Milan. Waktu itu mereka bersenang-senang. Mulai dengan piknik bersama, hingga berkeliling Milan mencari baju baru untuk adik Nada yang baru lahir. Satu-satunya momen indah keluarga, yang masih tersimpan jelas dalam benak Nada. Bukannya keluarga Nada seburuk itu hingga hanya satu kenangan indah yang dapat diingatnya. Tapi, kenangan indah lain terkubur bersama kenangan buruk yang ditorehkan sang kepala keluarga.

Kehidupan yang dulunya harmonis mulai berubah. Orang tuanya sering bertengkar, terutama karena Ayahnya sering tertangkap basah berselingkuh. Selain berselingkuh, Ayahnya juga sering melakukan kekerasan sambil mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas didengarkan.

Menghadapi perangai buruk suaminya, Bunda Nada seringkali memendam perasaan kecewanya. Meski begitu, beliau mencoba bersabar demi anak-anaknya. Namun lama-kelamaan rasa sakit itu mulai meluap. Membuat Bunda Nada sulit mengatur emosi, apalagi ketika suaminya lagi-lagi memberikan luka yang sama berulang kali. Tanpa disadari beliau melampiaskan amarah kepada anak-anaknya yang tidak bersalah.

F1: LATE NIGHT CONCERT  🏁Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang