1 : Awal

166 22 33
                                    

10 Februari, Sabtu.

Arma Taufan Antares. Siapa yang tidak mengenalnya? Anak kelas XI SMA, yang gagal memasuki SMK karna keterbatasannya, seseorang yang sering kali mempertanyakan seuntai warna pada yang lain. Menyedihkan, tapi itulah fakta yang harus ia telan. Juga, nilai merah yang tak pernah absen tiap hari atas kebodohan Taufan sendiri. Lucu, bukan?

Namun, apa iya itu benar-benar lucu untuk ditertawakan? Dan menjadi alasan untuk 'dibedakan'?

--

Taufan selalu berusaha tak acuh pada cacian mereka. Tak pernah sedetikpun Taufan berhenti berusaha menghentikan ujaran mereka dalam kepalanya.

Meski begitu, Taufan tak pernah bisa sekalipun mengabaikan secuil kata dari 'seseorang' yang masih ia anggap sebagai sahabat. Sesepele apapun kalimatnya, semenyebalkan apapun itu, selalu berarti bagi Taufan. Entahlah, Taufan pun tak mengerti.

--

Tangan Taufan menari dengan lihai diatas kertas. Menggores ujung pensil, membuat arsiran yang saling melengkapi. Mempercantik karyanya pada tiap goresan yang ada. Menuangkan tiap rasa pada selembar media putih.

Taufan berhenti sesaat, ia mendongak; menatap remaja bernetra ruby di koridor dengan tatapan yang ... tidak bisa diartikan.

Taufan menggambar dia — remaja dengan netra ruby. Taufan tersenyum, tangannya gemetaran mengarsir sketsa wajah di buku. Ia bersenandung kecil.

Seseorang mendekat ke bangku Taufan. Dia tertawa kecil, berniat jelek. "Lo gambar apa? Tuan Monokrom?" Buku sketsa Taufan ditarik paksa.

Orang itu tertawa keras-keras, menarik perhatian seisi kelas dan bahkan siswa-siswi di koridor. "Halilintar! Liat! Taufan gambar lo lagi, hahaha." Dia berlari keluar kelas, menunjukannya pada yang lain.

Halilintar menatap sekilas buku sketsa Taufan saat disodorkan. Ia meraih buku itu dan beralih menatap Taufan dari balik kaca. Tentu saja gambar itu memercikkan rasa kesal pada Halilintar.

Brak. Buku Taufan dibanting Halilintar ke lantai. "Sepertinya dia belum sadar-sadar juga kalau dia nggak pantas jadi seniman." Kalimat itu mengundang gelak tawa siswa-siswi di dekat Halilintar.

Halilintar sendiri tersenyum miring sembari melirik Taufan. Sementara, Taufan balik menatapnya.

Bola mata si biru memerah panas dengan gerimis air membasuh pipi. Ia menatap mantap dan bibirnya getir melirih, mengatakan bahwa ia pasti bisa — membuat Halilintar tersentak kesal dan segera pergi menjauhi kerumunan.

--

Roda-roda bergesek dengan jalanan aspal. Taufan melajukan skateboard-nya, menuju ke rumah. Ia masih berusaha tersenyum dalam perjalanan meski perasaannya seperti awan mendung, buruk.

Kadang Taufan mengutuki keistimewaan yang ada pada maniknya, ia ingin melihat layaknya manusia biasa. Namun, sayangnya penderita buta warna total (Achromatopsia) seperti dia tak akan pernah bisa sembuh. Mungkin, pengencualian bila ada keajaiban. Dan tentu, keajaiban adalah sebuah hal yang mustahil untuk pemuda itu.

Taufan masih melajukan skateboard diantara lalu lalang kesibukan, tidak menyadari bahwa ia akan segera terjatuh karna ulah seseorang.

Roda depannya terjegal. Bruk. Dan Taufan terjerembam mencium aspal. Ia meringis perih, apalagi saat tanganya bergesek kasar dengan aspal.

"Taufan? Lo gapapa?" Dafa — teman seangkatan Taufan mengulurkan tangan, berniat membantu (?), kebetulan ada di sana. Taufan tersenyum. "Iya, gapapa." Ia meraih uluran tangan Dafa.

Warna Mimpi [OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang