Bab 1: Pangkuan ironi

41 3 12
                                    

Jalan abu tak ditapak satupun oleh yang lain, dibiarkan, dilahap gulitanya hari. Angin merasa risau, hembusan nya goyah dengan kasar.

Fiuw, fiuw.

Ributnya kencang, mengedarkan suara yang semakin dingin.

Batu tersenggol, terjatuh ke keramik yang telah hancur berkeping. Tubuhnya bersandar erat di balik tembok.

Yang satu meremas segumpal samping roknya. Mata berkedip cepat, merubah arah pandang.

Anak ketiga berada di paling ujung, terus menghadap ke arah anak kesatu, lekat mata tidak mengkhianati.

"Hei, gerak." Bisiknya pelan.

Yang dibisiki masih mengamati lingkungan diluar dari sini, kedua kaki tetap berdiam berdiri di satu tempat. Saat angin riuh reda, hanya tunggal mata kaki yang terangkat, pelan sampai menapak keluar dari tutupan tembok. Pasang kaki lain ikut keluar.

Ia menunduk kepala ke bawah samping kirinya, "ayo." Bersaut kecil.

Yang paling kecil menggumam, melepas samping rok dan berjalan setengah keluar dari belakang tembok, berjinjit penasaran ke luar. Seperti kepala semut yang bingung.

Si kecil menoleh ke belakang lagi, pergelangan tangan kurus nya dipegangi oleh anak di ujung sudut tembok. Menuntun nya keluar mengikuti anak pertama. "Hen'li, sem'nhit." Beritahu nya telia ke yang tinggi.

"Sempit, gelap?" Kepala si anak tinggi miring, berpikir.

"Get'ap!" Yang paling depan menjawab, sepasang kaki mereka bertiga berjalan searah. Lalu Henry berkial dan mendesiskan napasnya.

"... Ok." Ophal berisik, maka ia terdiam dari teguran henry.

Mereka terus menyeberangi jalan, pandangan tertutup bayangan. "Was, was." Peringat Ophal diangguki dua anak dibelakang nya.

Tak ada suara, senyap menenggelamkan malam di kota. Hanya sayup berbunyi udara, ketukan sepatu-sepatu mereka bagai penghalang sunyi.

Satu-persatu mereka melewati garis marka jalan yang lurus dan putih, gadis kecil menoleh ke gelapnya ujung jalan yang terasa menyambut. Ingin mereka masuk lebih dalam. Namun anak kecil tidak boleh masuk bayangan, sempit, terlalu gelap.

Ophal mengangkat kaki ke permukaan yang lebih tinggi dari aspal. Berjalan melewati jalan pedestarian. Henry membantu kaki lambat Telia, mengangkat nya sedikit ke atas. Lalu menyusul di samping nya.

Angin tenang, aman.

Malam terus menghantui, tak terkendali, namun redup nya tidak bisa dipungkiri atau diacah. Walaupun begitu, malam tetap tidak aman. Hanya angin yang memberitahu.

Sebagian besar hanya jalan tersisa, bangunan berserakan dibawah tak menempu di atas sama lain. Semua gundul dan begitu luas, makan, makanan tidak ada disini. Makanan dibagikan di tempat tertutup, yang lain bodoh tidak tahu dimana tempat sedia makan. Tapi Ophal tahu, nanti akan bisa makan lagi, perut kenyang.

Seretan dan rentetan bunyi mengikuti jalan, beling dan batu pecah diinjak tanpa dipedulikan.

Tempat ini hancur, seperti kepingan koin yang jatuh setelah disusun ke atas. Berserakan.

Dihembus rambut mereka, lebih bergerak, lebih-lebih tiupan. Anak tinggi menoleh sedikit, tiga anak merasa hembusan angin aktif.

Semuanya berhenti.

Angin bersiul, menentukan arah putar, semakin kuat, semakin terasa.

Kemarilah, sang bayang tampak hangat, gelapnya memberi petunjuk untuk berintuisi. Tidak bersuara, diam, menunggu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kota BertanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang