Bab 10: Jalan tanpa kembali

8 4 1
                                    

Setelah Aponi berkata, "Kita tidak sendiri lagi," suasana berubah drastis. Rion merasakan bulu kuduknya berdiri, seolah ada kekuatan tak terlihat yang tiba-tiba mengelilingi mereka. Hutan yang sebelumnya tenang kini dipenuhi dengan suara berdesir—bukan angin, melainkan sesuatu yang bergerak di antara bayang-bayang pepohonan.

Rion menatap Aponi dengan cemas. "Apa itu? Apakah Nocturna sudah tahu kita di sini?"

Aponi tidak segera menjawab, tatapannya tetap tajam, menelusuri kegelapan. Sayapnya bergetar pelan, kilauannya memudar dan berganti dengan semburat gelap yang hampir tidak terlihat. Dia bisa merasakan kehadiran yang berbeda—bukan hanya sekadar makhluk biasa, melainkan kekuatan yang terhubung dengan dunia yang lebih dalam.

"Bukan hanya Nocturna," gumam Aponi akhirnya, suaranya penuh kehati-hatian. "Ada sesuatu yang lain. Lebih tua... lebih purba."

Rion merasakan detak jantungnya semakin cepat. "Apakah itu baik atau buruk?"

"Sulit dikatakan." Aponi bergerak mundur sedikit, mendekati Rion, matanya masih fokus pada kegelapan di depan mereka. "Tapi yang pasti, kita harus berhati-hati. Ini bukan wilayah manusia lagi."

Saat itu, bayangan mulai muncul dari balik pepohonan, bergerak dengan cara yang terlalu halus untuk dianggap normal. Sosok-sosok hitam, seperti bayangan tanpa wujud, mendekat. Mereka tampak mengambang, tidak benar-benar berjalan, dan setiap kali mereka bergerak, udara di sekitarnya seakan mengental.

Rion memegang napasnya, matanya membelalak. "Apa yang akan kita lakukan?" bisiknya, suaranya gemetar.

Aponi mengangkat satu tangan, tanda agar Rion tetap tenang. "Mereka tidak akan menyerang... belum. Tapi kita harus segera pergi dari sini. Kekuatan mereka berasal dari kegelapan, dan semakin malam, semakin kuat mereka."

Rion mengangguk, tapi langkahnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menariknya kembali. "Apakah mereka... makhluk Butterlie juga?"

Aponi terdiam sejenak sebelum menjawab, "Mungkin. Atau mungkin mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bahkan Nocturna belum bisa kendalikan sepenuhnya."

Ketika Rion hendak melangkah, salah satu bayangan itu bergerak lebih cepat, mendekat dengan gerakan yang nyaris seperti angin topan. Tubuh Rion kaku, tidak mampu bergerak atau melawan, sampai akhirnya bayangan itu berhenti tepat di depannya. Rion bisa merasakan kehadiran dingin yang mengalir di sekitar tubuhnya, seolah-olah bayangan itu meneliti setiap inci dirinya.

Sebelum Rion sempat bereaksi lebih jauh, Aponi melangkah maju, mengangkat tangannya yang bersinar samar, membentuk semacam perisai yang melindungi mereka berdua dari makhluk-makhluk bayangan itu.

"Kita harus pergi sekarang," desis Aponi dengan nada tegas. "Sebelum mereka tahu siapa kita sebenarnya."

Namun, tepat saat mereka akan mundur, suara yang dalam dan penuh kekuatan terdengar dari bayangan yang lebih besar di belakang.

"Aponi Lie... Penjaga Keseimbangan, kau tak bisa lagi bersembunyi."

Aponi menegang, tatapannya mengeras saat dia mengenali suara itu. Rion menoleh dengan bingung, matanya bertanya-tanya.

"Siapa itu?" bisiknya, penuh dengan ketakutan.

Aponi tidak menjawab, tapi ekspresinya mengisyaratkan bahwa lawan mereka kali ini bukanlah sekadar bayangan biasa. Kegelapan yang mereka hadapi baru saja menunjukkan wajahnya yang paling menakutkan.

Dan mereka belum tahu, siapa yang sebenarnya sedang berburu.

Aponi menatap bayangan besar yang kini berdiri di hadapannya. Suara itu menggetarkan udara, meresap ke dalam pikiran Rion dan membuat seluruh tubuhnya terasa membeku. Sesaat dia berpikir untuk melarikan diri, namun sesuatu menahannya di tempat—rasa takut yang mencengkeram, dan rasa penasaran yang terlalu kuat untuk diabaikan.

"Aponi, apa maksudnya? Kau mengenalnya?" Rion bertanya, matanya tetap terpaku pada sosok besar yang tampak semakin nyata seiring waktu berjalan.

Aponi mengangguk, suaranya pelan dan penuh dengan ketegangan. "Ini Nocturna... atau lebih tepatnya, manifestasinya. Dia telah memburu Butterlie selama berabad-abad, menginginkan kekuatan kita untuk dirinya sendiri. Tapi dia bukan makhluk yang bisa kita kalahkan dengan mudah."

Rion menelan ludah, mulutnya kering. "Lalu, apa yang akan kita lakukan?"

"Kita harus menghadapi ini," jawab Aponi, meskipun dalam hatinya ada keraguan yang terus menghantui. Sudah terlalu lama dia berusaha menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia Butterlie, tapi Nocturna adalah ancaman yang berbeda. Dia bukan sekadar kekuatan kegelapan; dia adalah wujud kehancuran yang mampu mengubah segalanya.

Nocturna bergerak maju, bayangannya semakin pekat. Suara tawa rendah terdengar, menciptakan getaran aneh di sekitar mereka.

"Kau pikir bisa menghentikanku, Aponi? Keseimbangan itu sudah rapuh sejak lama. Dunia Butterlie dan dunia manusia saling terjerat, dan kini aku yang memegang kendali," katanya dengan nada sombong. "Rion, manusia yang bodoh, kau tidak mengerti apa yang kau hadapi. Pengetahuan yang kau kejar hanya akan membawamu pada kehancuran."

Rion merasa darahnya mendidih. "Aku tidak peduli dengan ancamanmu, Nocturna. Jika kau pikir aku hanya seorang peneliti biasa, kau salah besar."

Aponi menatap Rion dengan sedikit kejutan. Pria itu, meski takut, menunjukkan keberanian yang tidak dia duga. Namun, keberanian saja tidak cukup.

"Kita tidak bisa menghadapinya di sini, Rion," Aponi berkata tegas, menarik napas panjang. "Kita butuh lebih dari sekadar kekuatan fisik. Kita harus menemukan jalan keluar dari ini sebelum terlambat."

Nocturna bergerak lebih dekat, bayangan besarnya kini tampak melingkari mereka. "Tidak ada tempat untuk lari, Aponi. Tidak untukmu, tidak untuk manusia ini."

Perasaan mendesak mulai menyelimuti mereka. Aponi tahu, saatnya hampir habis. Dia harus membuat pilihan sekarang—melawan atau mundur untuk menyusun rencana yang lebih baik. Tapi dalam bayang-bayang Nocturna, segala sesuatunya tampak lebih sulit, lebih berat.

"Kau tahu, Nocturna," Aponi akhirnya berkata, dengan nada yang lebih tenang tapi penuh keteguhan, "kau mungkin kuat. Tapi aku tidak sendirian. Dan sekuat apapun kau, tidak ada yang bisa mengendalikan takdir Butterlie tanpa membayar harganya."

Bayangan Nocturna berhenti, seolah sedang mempertimbangkan kata-kata Aponi. Namun, tawa rendah itu terdengar lagi, kali ini lebih nyaring, lebih mengancam.

"Kita lihat saja siapa yang akan membayar harga itu, Aponi," katanya dingin.

Dalam sekejap, dunia di sekitar mereka berubah. Hutan yang tadinya gelap gulita mulai terbelah, seolah ada dua dunia yang bertarung untuk mendominasi. Tanah di bawah kaki mereka berguncang, dan langit malam dipenuhi dengan cahaya aneh yang menyilaukan.

Rion terhuyung, matanya berkelip-kelip dengan kebingungan. "Apa yang sedang terjadi?"

Aponi menggenggam lengan Rion erat-erat. "Ini adalah dunia Nocturna. Dia mencoba menyeret kita ke dimensi gelapnya."

"Tapi—apa kita bisa melawan?"

Aponi mengeraskan rahangnya. "Belum tentu. Tapi kita harus tetap bergerak. Jika kita terjebak di sini terlalu lama, kita tidak akan pernah bisa kembali."

Nocturna melingkari mereka lagi, siap untuk memberikan pukulan terakhir. Namun, tepat sebelum bayangan itu menerkam, Aponi menutup matanya, mengumpulkan seluruh kekuatan ilusi yang dia miliki, dan dalam satu ledakan cahaya, dia menarik Rion bersamanya ke dalam dimensi lain—sebuah pelarian sementara, tapi cukup untuk memberi mereka sedikit waktu.

Saat cahaya itu memudar, mereka berdua berdiri di tengah kuil yang hancur, kuil yang pernah menjadi pusat kekuatan Butterlie. Napas mereka tersengal, dan hening sesaat menyelimuti tempat itu.

Rion menatap Aponi, masih terkejut. "Kita berhasil?"

Aponi tidak menjawab, hanya menatap bayangan di balik reruntuhan kuil. Di sana, di kegelapan, Nocturna masih menunggu.

BUTTERLIE: 𝔐𝔦𝔰𝔱𝔢𝔯𝔦 𝔡𝔦 𝔄𝔫𝔱𝔞𝔯𝔞 𝔖𝔞𝔶𝔞𝔭Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang