19| Ru, just beat it

725 112 27
                                    

“SELAMAT, adek kukang gue. Lo pasti masuk surganya pakai jalur undangan.”

Ruka menghela napas. mengabaikan tangan abangnya yang tergantung untuk menjabatnya sebagai dramatisasi sarkasme. “Bang!”

“Iman lo tetep tangguh tak terbobolkan pas nempel-nempel sama calon tunangan lo di lorong sempit ya. Lo adalah salah satu dari sedikit manusia yang ngebuat Tuhan bangga udah nyiptain lo.”

“Bang Jisu.” Ruka mendesah lelah.

Sudah lewat sehari dari kejadian di kelabnya bersama Ritha. Dan Ruka baru saja bercerita tentang kejadian tersebut kepada Jisu dan sekalian menceritakan perjodohannya yang sedang berlangsung serta berbagi kisah pertemuannya dengan sang calon mertua saat mengantar Ritha pulang ke rumahnya tadi.

Ruka dan Jisu sudah keluar dari mobil di area parkir kampus. Ruka sebagai adik yang berbakti, rela memutar balik dari rumah Ritha menuju apartemen Jisu hanya untuk menjemput abang tampan satu-satunya itu. Hal tersebut terjadi, karena pagi-pagi buta Rora sudah menyebar gosip yang tidak-tidak kepada abangnya itu. Alhasil, sepanjang jalan Jisu menginterogasinya habis-habisan sampai mulut Ruka berbusa menjawab satu-satu pertanyaannya.

“Eh betewe, Ru. Lo kemaren sama Ritha…,” putus Jisu untuk menunggu Ruka menoleh. “Lo sama adiknya Lalice itu, lo sampai cipokan?”

Tanpa Ruka inginkan, pipinya justru memanas. Ruka menoleh ke sana-kemari. Tak ingin perbincangan ini terdengar. Meski area parkir kampus begitu sepi orang.

“Iya, Bang.”

“Enak?”

Ruka terdiam untuk memberi jawaban, “Cuma sebentar.”

“Ya itu berarti enak, kan. Makanya lo nggak rela kalau cuma sebentar.” Jisu terkekeh melihat Ruka yang hanya diam. “Lagian, kok cipokan cuma bentar?”

“Yakan… itu spontan, cuma ekting doang, Bang.”

“Ya ampun… jadi lo berdua cuma cipok-cipok bebek?”

“Istilah apa itu?”

“Cipok yang sekadar nempel. Kayak, cup, terus udah, kelar.”

Adegan ketika dirinya melumat bibir Ritha pun terputar di otak Ruka. “Kayaknya aku nggak perlu jelasin secara detail ya, Bang.”

Jisu meninggikan alis. “Ah, jadi bukan cuma cipok-cipok bebek ya.”

Lagi, Ruka hanya diam.

Tawa Jisu pun meledak. “Astagah polosnya! Gemecin amay ci adexnya abang inih!”

Ruka hanya mengangkat bahu.

“Ya udah, santai dong, Ru.” Jisu merangkul bahu sang adik dan menepuk-nepuknya. “Cipok doang mah, lain kali juga bisa.”

Mata Ruka memandang ke arah lain. Dia menyingkirkan tangan Jisu dari bahunya. “Nggak ada lain kali, Bang.”

“Lah, kenapa? Bukannya lo udah dapet lampu hijau dari Manoban?”

“Nggak ada lain kali.” Ruka menundukkan pandangan sambil berjalan. “Kakek. Kakek… ngawasin tiap gerak-gerik aku, juga Ritha.”

Jisu berhenti melangkah sesaat, membuat Ruka menoleh. “Astaga… Kakek?”

Ruka mengangguk lesu. “Iya.”

Dengan penuh empati, Jisu merangkul lagi bahu sang adik yang loyo. “Brader, jangan cuma karena kakek-kakek tua itu lo nyerah gitu aja. Hidupnya lo ya punya lo sendiri, Ru.” Ucap Jisu bijak. “Lo jangan mau disetir gitu aja sama manusia bau tanah itu, Ru. Contoh Abang dong! Abang berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan demi cinta abang ke Jennie. Dan ada hasilnya…” Jisu menatap jalanan di depan taman yang mereka lewati menuju area fakultas seni, gedung arsitek berada di belakang gedung seni.

ToGetHer | RuPha [ABANDONED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang