Dian masih ingat hari itu, hari ketika ia pertama kali bertemu dengan Arman, suaminya. Seorang pria tampan, cerdas, dan perhatian. Awalnya, segalanya terasa sempurna. Arman selalu memastikan Dian baik-baik saja. Ia mengirim pesan singkat setiap pagi, menanyakan apakah Dian sudah sarapan, dan menelpon setiap malam hanya untuk mendengar suaranya sebelum tidur. Dian menganggap semua perhatian itu sebagai bentuk cinta yang mendalam. Namun, perlahan semuanya berubah.
Lima bulan setelah mereka menikah, Dian mulai merasakan perbedaan. Arman yang dulu lembut kini menjadi seseorang yang selalu ingin tahu setiap detik kegiatan Dian. "Kamu di mana sekarang?" atau "Dengan siapa kamu pergi?" adalah pertanyaan yang selalu keluar dari mulut Arman, bahkan saat Dian baru pulang dari kantor.
Setiap kali Dian berkumpul dengan teman-temannya, Arman selalu mencari alasan untuk meneleponnya atau mengirim pesan tanpa henti. Bahkan, ia mulai melarang Dian untuk bertemu dengan teman laki-lakinya. "Aku nggak suka kamu dekat-dekat sama mereka," katanya suatu malam, dengan nada dingin yang tak pernah Dian dengar sebelumnya.
Seiring berjalannya waktu, Arman semakin posesif. Ia memaksa Dian untuk memberikan kata sandi media sosialnya, memeriksa teleponnya, dan selalu ingin tahu dengan siapa Dian berbicara. Setiap kali Dian menolak, pertengkaran pun tak terhindarkan. Arman selalu berdalih bahwa ia melakukan semua itu karena cinta. "Aku cuma khawatir sama kamu," katanya, tapi Dian merasa lebih seperti dikekang daripada dicintai.
Dian sering merasa bingung, di satu sisi ia mencintai Arman, tapi di sisi lain ia merasa tidak bisa bernapas. Hatinya berkecamuk, ia rindu kebebasan, rindu menjadi dirinya sendiri tanpa merasa takut diawasi. Namun, setiap kali ia mencoba berbicara dengan Arman tentang hal ini, suaminya selalu merespons dengan emosi berlebihan.
Suatu malam, setelah pertengkaran hebat karena Dian pergi makan malam dengan sahabat perempuannya, Dian duduk di kamar sendirian. Ia menatap dirinya di cermin. Di balik wajah lelah itu, ia menyadari sesuatu yang selama ini ia abaikan—hubungan mereka tidak lagi sehat. Perasaan cintanya pada Arman mulai tergantikan oleh ketakutan dan keraguan.
Dian mulai bertanya pada dirinya sendiri: apakah ini benar-benar cinta? Atau hanya bayangan dari apa yang dulu ia percayai sebagai cinta? Jika cinta seharusnya membebaskan, mengapa ia merasa seperti terperangkap?
Pagi itu, Dian mengambil keputusan yang tidak mudah. Dengan hati berat, ia mengajak Arman berbicara serius. Ia menyadari bahwa demi menjaga cintanya sendiri, ia harus terlebih dulu membebaskan dirinya dari kekangan yang selama ini melilitnya.
"Aku nggak bisa begini terus, Man. Aku butuh ruang, aku butuh kepercayaan. Kalau kamu benar-benar cinta aku, kita harus berubah."
Itu adalah percakapan yang sulit, namun juga langkah pertama bagi mereka untuk mencari kembali apa arti cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tidak posesif, cinta yang memberi ruang untuk tumbuh.