Mbok Ginem adalah seorang janda yang memiliki seorang putra bernama Ragil, yang kini berusia delapan belas tahun. Mereka tinggal di sebuah rumah tua yang terbuat dari anyaman bambu, khas rumah Jawa, yang terletak di pinggir sawah desa. Sejak suaminya meninggal empat tahun yang lalu, Mbok Ginem dan Ragil menjalani hidup dengan sederhana, mengandalkan ladang kecil yang ditinggalkan oleh almarhum suaminya.
Ragil mungkin tidak lahir dari keluarga yang kaya, tapi dia punya pesona yang bikin dia beda dari teman-temannya. Dengan tubuh yang tinggi, kulit sawo matang, dan wajah yang menarik, dia sering jadi pusat perhatian di desanya.
Pagi hari di desa itu selalu memberikan nuansa damai yang khas. Saat matahari mulai muncul, cahaya keemasan mulai menyebar, membangunkan semua makhluk hidup di sekitarnya. Udara yang masih sejuk dan sedikit berkabut seakan memeluk setiap orang di desa. Di rumah kecilnya, Mbok Ginem sudah bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk mereka berdua di dapur sederhana yang ada di sudut rumah dengan lantai yang masih terbuat dari tanah.
Dapur kecil di sudut belakang rumah itu kini dipenuhi dengan wangi masakan yang bikin ngiler. Mbok Ginem dengan sigap mengolah semua bahan yang ada, menghasilkan hidangan yang sederhana tapi sarat dengan kasih sayang. Setiap gerakan tangannya menunjukkan kebiasaan yang sudah terbangun selama bertahun-tahun.
"Gil... Ragil..." suara Mbok Ginem memanggil anaknya dari dalam dapur. Asap tebal mengepul dari tungku kayu yang terbuat dari tanah liat, di mana sebuah wajan hitam legam terletak, hasil dari bertahun-tahun pemakaian.
Suara minyak panas yang meletup-letup di penggorengan membuat suasana semakin hidup, meskipun sesekali Mbok Ginem terbatuk karena menghirup asap yang keluar dari tungku. Tangan keriputnya dengan cekatan memasukkan kayu ke dalam tungku sambil menggoreng ikan wader yang ditangkap oleh Ragil di sungai kemarin sore.
"Gil, tolong belikan simbok garam dan cabe di warung Yu Jem. Ini wader yang kamu pancing kemarin sore, simbok mau goreng," teriak Mbok Ginem.
Di dalam kamarnya, Ragil masih terbaring malas di atas bale-bale kayu yang dilapisi tikar, matanya menyipit melihat sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dinding gedek yang berlubang. Ia menarik sarungnya kembali menutupi kepala, enggan untuk meninggalkan kenyamanan tempat tidurnya.
"Aku masih ngantuk, Mbok," jawabnya dari dalam kamar. Kamar Ragil ada di samping dapur, cuma dipisahkan oleh sekat dari anyaman bambu yang sederhana.
"Kamu mau sarapan atau enggak? Api sudah menyala, jangan sampai Mbok nunggu lama!" seru Mbok Ginem dengan nada yang tegas.
Ragil menghela napas panjang, berusaha mengusir rasa kantuk yang masih menyelimuti dirinya. "Tunggu sebentar Mbok..." jawabnya pelan.
"Cah bagus, kalau disuruh orang tua ya harus segera pergi, jangan menunda-nunda... cepat cuci muka dan bangun!" desak Mbok Ginem.
"Iya Mbok," sahut Ragil, berusaha bangkit meski matanya masih setengah terpejam.
"Cepatlah... garamnya untuk masakan ini, nanti kamu tidak bisa sarapan," tambahnya.
Ragil bangkit dari tidurnya dengan mata yang masih setengah terpejam, merasakan rasa malas yang menyelimuti dirinya seperti selimut tebal di malam yang dingin. Ia mulai menggerakkan tubuhnya, berusaha melonggarkan otot-otot yang terasa kaku.
Duduk santai di pinggir bale-bale, dia menundukkan kepala, berusaha keras mengumpulkan kembali semangat yang hampir pudar, sambil berharap ada secangkir kopi ajaib yang bisa mengembalikannya ke keadaan semula. Setelah menarik napas dalam-dalam, matanya melirik ke arah bawah perutnya, dan dia tersenyum melihat sesuatu yang sudah tegak berdiri, seolah-olah siap untuk difoto di majalah pria.
![](https://img.wattpad.com/cover/376568874-288-k273439.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Semata Wayang BL Series (21+)
RomanceWarning! Cerita BL (21+) Bersambung! Peringatan cerita ini mengandung unsur percintaan sesama jenis (Gay), mengandung plot drama 21++, dan seksualitas secara eksplisit, bagi yang tidak berkenan dari awal dan di bawah umur 18, JANGAN DIBUKA! Ragil p...