Lily adalah seorang remaja dengan hati yang rapuh, selalu merasa tidak diterima di rumahnya sendiri. Setiap pagi dia terbangun dengan harapan akan cinta dan perhatian, namun selalu dihadapkan pada kenyataan yang dingin dan acuh tak acuh.
"Lily, kamu bisa nggak sedikit lebih berguna di rumah ini?" sering kali menjadi sapaan pertama dari ibunya saat pagi.
Ayahnya jarang pulang dan ibunya lebih sering mengeluh daripada mendengarkan. Lingkungan rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan baginya justru menjadi sumber penderitaan. Setiap malam, dia mendapati dirinya duduk di sudut kamarnya, merasa terjebak dalam dinding rumah yang tak pernah memberinya rasa aman. Di sekolah, situasinya tidak jauh berbeda, di mana suasana yang keras dan kompetitif membuatnya semakin merasa terasing.
Rumah Lily bukanlah tempat yang nyaman untuk ditinggali. Ayahnya selalu sibuk dengan pekerjaannya dan pulang hanya untuk tidur.
"Ayah, kapan kita bisa makan malam bersama lagi?" tanya Lily dengan harapan.
"Nanti, kalau Ayah ada waktu," jawab ayahnya tanpa menoleh.
Ibunya, yang selalu merasa frustrasi dengan hidupnya, sering melampiaskan kemarahannya pada Lily. Mereka sering berdebat tentang hal-hal kecil, membuat rumah mereka penuh dengan ketegangan.
"Lily, kamu benar-benar tidak bisa diandalkan!" teriak ibunya suatu malam, membuat Lily merasakan sakit hati yang mendalam.
Dia sering kali mengurung diri di kamarnya, mencoba menghindari konflik yang terus-menerus terjadi. Kenangan akan keluarga bahagia semakin memudar seiring waktu, meninggalkan Lily dengan perasaan kosong dan hampa.
Di sekolah, Lily menjadi sasaran empuk bagi para pengganggu. Hani, teman yang dulu dekat dengannya, kini menjadi salah satu pelaku utama bullying.
"Kenapa kamu selalu sendirian, Lily? atau Nggak ada yang mau berteman sama kamu?" ejek Hani di depan yang lain.
Setiap hari, Lily harus menghadapi hinaan dan perlakuan kasar yang membuatnya merasa semakin tidak berharga. Dia sering makan siang sendirian di sudut kantin, berusaha menghindari tatapan dan ejekan dari teman-temannya. Meskipun merasa terasing, Lily tetap berusaha untuk bertahan dan menyelesaikan pendidikannya, meski setiap hari di sekolah terasa seperti perjuangan tanpa akhir.
Hani, yang dulu adalah sahabat terbaik Lily, kini menjadi bagian dari kelompok populer yang sering membully Lily.
"Hani, kenapa kamu berubah? Apa salahku?" tanya Lily dengan air mata menggenang di matanya.
Hani hanya mengangkat bahu dan menjauh, mengabaikan permohonan Lily. Kelompok ini dikenal sering membully siswa lain, dan kini Hani bukan hanya meninggalkan Lily tetapi juga turut menjadi pelaku. Ada juga Edo, seorang siswa yang selalu tampak memperhatikan Lily dari kejauhan, meskipun mereka jarang berbicara.
"Hei, Lily. Kamu nggak apa-apa?" tanya Edo suatu hari, tetapi Lily hanya mengangguk singkat, merasa tidak yakin bisa mempercayai siapapun lagi.
Selain itu, beberapa guru tampak peduli namun tidak benar-benar memahami apa yang Lily alami, dan teman-teman sekelas lainnya lebih memilih untuk tidak terlibat, membiarkan Lily berjuang sendirian.
Lily sering merasa sangat kesepian, seolah-olah dia adalah satu-satunya orang di dunia ini.
"Mengapa aku selalu sendirian?" bisiknya kepada dirinya sendiri di malam yang sunyi.
Malam-malamnya sering dihabiskan dengan menangis sendirian, merasa tidak ada yang peduli padanya. Setiap kali dia mencoba untuk mencari bantuan, dia hanya menemui dinding-dinding tak terlihat yang menghalanginya. Keputusasaan mulai merayapi hatinya, membuatnya merasa tidak ada jalan keluar. Dia merindukan cinta dan dukungan, sesuatu yang tampaknya sangat sulit didapatkan. Meski begitu, dia tetap mencoba untuk bertahan, berharap suatu hari nanti semuanya akan berubah, meskipun harapan itu tampak sangat kecil di tengah kesedihan yang mendalam.
Untuk melarikan diri dari semua rasa sakitnya, Lily memutuskan untuk bekerja keras. Dia mengambil banyak pekerjaan paruh waktu, mulai dari menjadi pelayan di kafe hingga bekerja di perpustakaan sekolah.
"Lily, kamu kerja terus. Nggak capek?" tanya seorang rekan kerjanya di kafe.
"Lebih baik capek daripada harus menghadapi kenyataan," jawab Lily dengan senyum pahit.
Setiap malam dia pulang dengan tubuh yang lelah, berharap kelelahan fisik bisa mengusir semua pikiran buruk. Namun, meskipun tubuhnya lelah, pikirannya tetap penuh dengan kecemasan dan kesedihan. Pekerjaan menjadi pelarian sementara dari kenyataan pahit yang harus dia hadapi setiap hari. Namun, semakin dia bekerja, semakin dia menyadari bahwa ini bukanlah solusi jangka panjang.
Lily merasa tidak ada tempat yang benar-benar aman untuknya. Rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan malah menjadi sumber penderitaan.
"Kenapa di rumah pun aku nggak bisa merasa aman?" pikir Lily setiap kali mendengar orang tuanya bertengkar.
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar dan berteman justru menjadi arena pertarungan yang melelahkan. Setiap sudut dalam hidupnya terasa penuh dengan ancaman dan ketidakpedulian. Dia merasa seperti burung yang terjebak dalam sangkar, tidak bisa terbang bebas. Keputusasaan dan kesepian menjadi teman setianya, menemani setiap langkah yang dia ambil. Meski begitu, dia terus berusaha untuk bertahan, mencari secercah harapan di tengah kegelapan.
Di tengah segala kesulitan, Lily membuat janji pada dirinya sendiri untuk tetap bertahan.
"Aku harus kuat. Aku bisa melalui ini," bisiknya pada bayangannya sendiri di cermin.
Dia ingin membuktikan kepada dunia, dan terutama kepada dirinya sendiri, bahwa dia kuat. Meski sering merasa hancur, dia terus mencari kekuatan dalam dirinya untuk bangkit. Setiap pagi dia bangun dengan tekad baru, mencoba menemukan alasan untuk terus berjalan. Harapan kecil dalam hatinya memberi sedikit cahaya dalam kegelapan hidupnya. Dia bertekad untuk tidak menyerah, tidak peduli seberapa sulit jalannya, dan terus berjuang meskipun semua tampaknya melawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Ketenangan yang Pudar
RandomNovel ini menggambarkan kisah Lily, seorang wanita yang menghadapi perjuangan emosional yang mendalam dalam hidupnya. Meskipun dikelilingi oleh orang-orang yang seharusnya mendukungnya, seperti teman Hani dan kekasih Edo yang berpura-pura mencintain...