Sore itu, matahari mulai meredup di balik gedung-gedung tinggi. Kafe kecil di sudut kota dipenuhi pengunjung yang tampaknya mencari tempat beristirahat setelah hari yang panjang. Suasana dalam kafe nyaman, dengan aroma kopi yang khas menguar di udara, menciptakan rasa tenang. Di pojok ruangan, seorang pria bernama Evan duduk dengan tenang, tubuh tegapnya ditekuk sedikit ke depan saat dia fokus mengetik di laptopnya. Wajahnya tampan dengan rahang tegas dan sorot mata yang tajam—tampak sebagai pria yang memancarkan aura percaya diri dan dominan.
Sementara itu, Elias, atau yang akrab dipanggil El oleh teman-temannya, memasuki kafe. Dengan wajah yang bersih dan tampan, Elias menarik perhatian beberapa orang di dalam kafe. Rambutnya rapi, tubuhnya ramping, dengan gaya yang terlihat kasual namun rapi. Ada sesuatu dalam cara Elias membawa dirinya—tenang, lembut, dan sedikit pemalu—yang membuatnya tampak lebih manis. Di balik pesonanya, dia punya sisi tenang yang lebih suka berada di belakang layar.
Elias menatap sekeliling, mencari tempat duduk. Kafe itu penuh, tidak ada meja kosong, kecuali satu tempat di pojokan tempat Evan duduk. Elias menghela napas pelan, merasa sedikit canggung untuk bertanya, tapi dia tidak punya pilihan lain. Dengan langkah hati-hati, dia mendekati meja Evan.
“Permisi, boleh duduk di sini nggak? Tempatnya penuh,” tanya Elias, suaranya lembut, sedikit ragu-ragu. Dia menunggu jawaban Evan dengan harapan pria di depannya ini tidak keberatan.
Evan mengangkat pandangannya dari layar laptop, menatap Elias sebentar sebelum mengangguk singkat. “Boleh, duduk aja,” jawabnya dengan nada tenang namun tegas, sambil kembali ke pekerjaannya.
Elias duduk dengan hati-hati, merasakan keheningan yang agak canggung di antara mereka. Dia menatap keluar jendela sejenak, mencoba mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi Evan tampaknya terlalu fokus pada laptopnya untuk diajak berbicara. Elias, meskipun terbiasa dengan suasana seperti ini, merasa sedikit ingin memecah keheningan.
“Lo sering ke sini?” Elias akhirnya bertanya, membuka percakapan dengan pelan, suaranya masih terdengar lembut namun jelas.
Evan menoleh sebentar, lalu menutup laptopnya. “Iya, lumayan sering. Gue suka suasananya, nyaman buat kerja,” jawab Evan, kali ini lebih fokus ke Elias.
“Oh, gue baru pertama kali ke sini,” kata Elias sambil tersenyum kecil, merasa lega bisa memulai percakapan. “Biasanya gue nongkrong di tempat lain, tapi kafe ini ternyata asik juga.”
Evan mengangguk pelan. “Emang enak. Kopinya juga lumayan.”
Setelah itu, mereka kembali diam untuk beberapa saat. Elias merasa cukup tenang, meski tidak banyak obrolan. Ada sesuatu tentang Evan—dari cara dia duduk hingga cara dia berbicara—yang membuat Elias merasa bahwa pria ini adalah tipe orang yang penuh kendali, tanpa harus terlihat memaksa. Di sisi lain, Elias merasa nyaman hanya duduk di sana, meskipun percakapan mereka belum benar-benar mengalir.
Beberapa menit kemudian, Elias mendapat pesan dari temannya yang mengabarkan bahwa mereka tidak bisa datang. Elias tersenyum pahit, lalu mengangkat bahu. “Temen gue batal dateng. Kayaknya gue bakal lama nongkrong di sini.”
Evan menatapnya sebentar, senyumnya tipis, lalu kembali membuka laptopnya. “Santai aja. Gue juga bakal lama di sini.”
Percakapan mereka berkembang pelan. Elias mulai merasa lebih nyaman dengan kehadiran Evan, meskipun pria itu tidak banyak bicara. Evan memang terlihat seperti tipe yang lebih banyak bekerja dalam diam, tapi Elias menyadari bahwa Evan punya perhatian yang tajam, meski tidak selalu ditunjukkan dengan kata-kata.
Beberapa hari kemudian, Elias kembali ke kafe yang sama. Kali ini, dia merasa sedikit lebih percaya diri setelah pertemuan pertamanya dengan Evan. Ketika masuk, matanya langsung tertuju pada Evan yang duduk di tempat yang sama, masih sibuk dengan laptopnya. Elias sempat ragu, tapi kemudian memutuskan untuk mendekat.
“Hai, Van. Boleh gabung lagi?” tanya Elias, kali ini dengan senyum yang lebih lebar. “Tempatnya penuh kayak biasa.”
Evan menoleh sebentar, lalu mengangguk. “Boleh. Lo mulai sering ke sini sekarang?”
Elias duduk, mengangguk sambil tertawa kecil. “Iya, sejak pertama kali dateng, gue jadi suka suasananya. Lo sendiri gimana? Kerja mulu?”
“Kerja terus,” jawab Evan, menutup laptopnya. “Tempat ini bikin gue bisa fokus. Kalau di rumah, kadang malah susah kerja.”
Obrolan mereka mulai terasa lebih alami. Elias merasa bahwa, meski Evan tidak selalu ramah secara langsung, ada kedalaman dalam cara dia membawa diri. Evan adalah sosok yang penuh kendali, tapi tidak membuat Elias merasa terintimidasi. Sebaliknya, Elias merasa bahwa Evan adalah tipe yang tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam.
Mereka mulai saling mengenal secara perlahan. Setiap kali Elias datang ke kafe, dia sering kali bertemu Evan. Awalnya, mereka hanya berbagi obrolan ringan, tetapi seiring waktu, percakapan mereka mulai lebih panjang. Elias mulai terbiasa dengan kehadiran Evan, bahkan merasa bahwa mereka mulai membangun semacam kebiasaan baru—nongkrong bersama, meski tidak selalu dalam obrolan yang penuh.
Suatu hari, mereka duduk di rooftop apartemen Evan, menikmati angin malam yang sejuk. Elias, yang biasanya lebih pendiam, mulai merasa nyaman membuka diri lebih banyak kepada Evan.
“Gue nggak nyangka kita bakal sering nongkrong kayak gini,” kata Elias tiba-tiba, sambil menatap langit malam yang mulai dipenuhi bintang.
Evan tertawa kecil, menoleh ke arah Elias. “Gue juga nggak nyangka. Awalnya lo cuma nyari tempat duduk, sekarang kita malah jadi sering bareng.”
Elias tersenyum, sedikit menundukkan kepala. “Tapi gue seneng, kok. Lo orangnya enak diajak ngobrol.”
Evan mengangguk. “Lo juga. Kadang gue butuh ngobrol sama orang yang nggak ribet.”
Sejak malam itu, hubungan mereka semakin dekat. Meskipun Elias sering kali lebih mengikuti arus, dia merasa bahwa persahabatan ini tumbuh dengan cara yang alami. Evan, meski sering kali terlihat lebih tegas dan dominan dalam caranya berbicara, selalu memberi ruang bagi Elias untuk merasa nyaman. Dan itu membuat Elias merasa aman.
Hari demi hari berlalu, dan kebiasaan mereka bertemu di kafe atau nongkrong di apartemen Evan semakin rutin. Setiap percakapan, meski sederhana, membangun fondasi yang kuat untuk persahabatan yang mulai tumbuh di antara mereka. Elias, dengan sifatnya yang lembut, merasa bahwa dia telah menemukan seseorang yang bisa dia percayai. Sementara Evan, yang selalu tampak tenang dan penuh kendali, mulai menghargai kehadiran Elias yang selalu membuatnya merasa lebih santai.
Meski perjalanan baru dimulai, mereka berdua tahu bahwa hubungan ini akan menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar kenalan biasa.
To Be Continued
karakter terbuka 🔓
KAMU SEDANG MEMBACA
Whispers Of the Heart
Teen FictionFt. Heejay Elias menyimpan rahasia besar-dia jatuh cinta pada sahabatnya, Evan. Tapi, setiap kali Evan jatuh cinta pada orang lain, Elias hanya bisa diam, menjadi pendengar setia sambil menyembunyikan perasaannya. Berapa lama Elias bisa bertahan? Ap...