Dimana Tuhan itu?

5 0 0
                                    

James mendongak dari komputernya ketika dia mendengar suara suaminya dari belakang, Abraham selalu pulang sedikit mendekati tengah malam karena pekerjaan yang James bahkan tidak pernah memberitahunya apa itu

"Ah kak!! Klimaksnya sebentar lagi.. Buku ini akan segera selesai" James menyeringai namun tak lama kemudian ia mendengar kabar bahwa ada mayat wanita hamil yang ditemukan di sebuah bangunan tua yang terbengkalai
"Ohh.. dunia ini begitu menyeramkan sekarang, apa yang kukatakan kak.. jangan pulang tengah malam lagi, di sana sudah tidak aman lagi, kudengar itu adalah ulah seorang pembunuh berantai yang sedang dicari polisi!" James berkata ia tidak akan pernah tahu jika dalang di balik semua itu adalah kekasihnya, Abraham, suaminya, adalah pembunuh berantai yang paling dicari oleh polisi.

Abraham duduk di samping suaminya. Bersandar di kursi berlengan tempat ia duduk sambil mendengarkan James bercerita tentang bukunya. Senyum tipis tersungging di wajahnya saat ia menyebutkan berita yang didengar James. Sudah seminggu sejak kejadian itu dan belum ada yang berhasil menemukan pembunuhnya.

"Benar, aku sudah mendengarnya. Itulah sebabnya aku selalu takut kamu keluar malam-malam, Sayang. Aku tidak ingin terjadi apa-apa padamu."

Abraham telah merencanakan pembunuhan ini selama lebih dari empat bulan. Sesekali ia akan menyelinap keluar dan pergi ke lokasi yang terbengkalai.

James cemberut

"Bagaimana denganmu! Kau sudah memberiku peringatan itu tapi kau masih berada di luar di malam hari..kakak..aku tidak ingin terjadi padamu.."

James benar-benar tidak bersalah atas pembunuh berdarah dingin yang bertindak seperti pria terhormat

"Hmm Pembunuh berantai itu benar-benar membuat gosipku mulai bermunculan"

Abraham tersenyum saat menggenggam tangan James. Membiarkan jari-jarinya yang bersarung tangan menelusuri kulit pria itu yang jauh lebih lembut daripada kulitnya sendiri.

"Jangan khawatir sayang.. Aku bisa mengurus diriku sendiri, yang kukhawatirkan hanya dirimu. Pembunuh berantai itu masih berkeliaran di luar sana."

Abraham terkekeh. Sungguh ironis. Pembunuh berantai yang selama ini dibicarakan suaminya itu duduk tepat di sebelahnya. Mengenakan pakaian yang sama dengan yang dikenakannya saat membunuh.

Sensasi yang didapatnya saat membunuh seseorang dan keluar tanpa tertangkap terlalu nikmat untuk dilepaskan.

Abraham tersenyum dan meletakkan tangannya di pipi suaminya, membelainya dengan lembut. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, dan memberikan kecupan lembut di dahinya. Ia tahu bahwa ia harus berhati-hati dan bertindak seperti suami normal.

"Kau tahu aku akan selalu kembali. Mengapa kau tidak menyelesaikan buku yang sedang kau kerjakan ini dan kemudian kita bisa menikmati malam yang menyenangkan bersama."

Ketika dia mengatakannya seperti itu hampir terdengar seperti dia adalah seorang suami yang baik yang mencintai kekasihnya.

Abraham segera masuk ke kantornya dan mengunci pintu rapat-rapat

Ia mengeluarkan barang-barang milik korban yang sengaja ia curi untuk koleksinya, polisi memang bodoh, Abraham menertawakan bagaimana hukum bekerja di negara ini, berita baru menemukan 4 mayat padahal ini sudah pembunuhan ke 14 yang dilakukannya

Abraham membuka laci tersebut, ternyata isinya barang-barang korban, kuku-kuku mereka dan beberapa helai rambut, serta foto-foto terakhir korban setelah dia membunuh mereka, Abraham suka memotret mereka di saat-saat terakhir hidup mereka. Setidaknya keahliannya dalam membunuh dapat membantu James dalam menulis novelnya yang menceritakan kisah pembunuhan.

monsterWhere stories live. Discover now