- 1 -

52 4 0
                                    

Kaki kanan Jaehyun terus bergerak gelisah, sementara pandangannya terpaku serius pada pesan singkat di layar ponselnya. Sudah tiga menit berlalu, namun dia masih belum membalas. Ada retakan halus di bagian kiri layarnya.

Rasanya, baru tadi pagi ibunya dilarikan ke rumah sakit. Rasanya, baru lima belas menit yang lalu dia berlari ke rentenir, meminjam uang untuk biaya perawatan ibunya. Rasanya, baru sekejap tadi sebuah tinju keras menghantam rahangnya, meninggalkan rona kecoklatan yang mulai pudar di wajah putih pucatnya.

Ibunya tidak tahu dari mana asal uang yang dipakai untuk membayar biaya rumah sakit. Jaehyun bilang dia meminjamnya dari teman sekolahnya dulu. Tentu saja ibunya tidak bodoh; Jaehyun berhenti sekolah di kelas dua setelah ayahnya menghilang, dan seminggu kemudian ditemukan mengapung di sungai di kota lain. Meninggalkan surat perpisahan, surat utang, surat dari kejaksaan, dan surat dari kepolisian. Jaehyun ingat semua surat itu dikumpulkan oleh ibunya ke dalam kotak perhiasan yang isinya sudah disita, kemudian dibakar di taman yang jauh dari rumah mereka yang juga sudah disita. Di taman itulah mereka tinggal sementara, saat ibunya menangis tanpa henti selama satu hari, lalu terdiam pada hari berikutnya.

Namun, entah karena apa, ibunya tidak bertanya lagi tentang asal uang itu. Setelah tiga bulan perawatan, ibunya mulai membaik. Dia sudah bisa bangun dan duduk. Ibunya pun tidak lagi menanyakan kemana ayahnya atau kenapa dia tidak pernah datang menjenguk.

Jaehyun berusaha mengalihkan pikirannya kembali ke keadaan sekarang. Namun pikirannya kacau saat jarinya mengetik balasan pesan dari Jungwoo, menyatakan bahwa dia bisa datang nanti malam.

Sebelum malam tiba, Jaehyun mampir ke rumah sakit untuk meninggalkan tas berisi pakaian ibunya yang sudah dia cuci dan setrika sendiri. Setelah mengecup kening ibunya dan berpamitan untuk "pergi bekerja menjaga toko kecil di dekat rumah," Jaehyun menaiki bus, dua kali, menuju arah berlawanan dari swalayan yang disebutkan kepada ibunya. Dia tidak ada shift jaga malam ini. Dia mengetik pesan ke Jungwoo, memberitahunya bahwa dia sudah dalam perjalanan dan akan tiba dalam sepuluh menit.

Jaehyun tiba di lokasi yang dikatakan Jungwoo bisa jadi jalan baru baginya. Terakhir kali dia ke klub adalah enam bulan lalu, sebelum ibunya jatuh sakit. Saat itu, dia masih bekerja sebagai pelayan, tetapi akhirnya terpaksa berhenti untuk fokus mengurus ibunya. Meninggalkan teman-teman dan bos yang begitu baik dan pengertian—mereka bahkan membantu membayar uang muka operasi ibunya. Tapi mereka terlalu baik bagi Jaehyun yang merasa tak akan pernah bisa membalas kebaikan mereka.

Seorang bodyguard mengawasinya dari pintu masuk. Jungwoo memintanya untuk menunggu di depan, dan Jaehyun melakukannya, mengabaikan tatapan curiga dari bodyguard tersebut. Beberapa menit berlalu seperti sekejap mata, dan Jungwoo muncul dengan rambut terangnya. Senyum manisnya sejenak menenangkan jantung Jaehyun yang berdebar tak karuan sejak dia memutuskan untuk menerima ajakan Jungwoo.

"Jaehyunnie hyung!" sapa Jungwoo. Jungwoo tidak berubah; masih seperti matahari—cerah dan penuh semangat. Dan Jaehyun tidak suka. Jungwoo terlihat tidak punya masalah. Dia pasti hidup tenang dan bersenang-senang. Jaehyun tersenyum kecil dan menyambut pelukan Jungwoo.

"Aku senang kau benar-benar mau datang," ujar Jungwoo sambil merangkul Jaehyun dan menariknya masuk ke dalam klub. "Bukannya aku bermaksud buruk, aku menawarkan pekerjaan ini karena hanya kau yang aku kenal cocok untuk ini, hyung." Jungwoo tersenyum. Jaehyun benci melihat itu—kapanpun Jungwoo terlihat tulus dan baik.

Jaehyun hanya mengangguk sementara Jungwoo terus berbicara, membawanya lebih dalam ke klub, menuju dentuman musik yang tiba-tiba membuat Jaehyun merasa mual, ke aroma alkohol yang tiba-tiba membuatnya semakin ingat akan nasib buruknya.

Jungwoo, masih merangkul erat pundaknya dan berbicara tanpa henti, menariknya semakin jauh ke dalam klub. Melalui lorong—yang entah apakah Jungwoo sudah hapal, atau mungkin memang jalur khusus untuk orang-orang seperti dia, sang pemilik tempat—yang jauh dari kerumunan, hingga ke pintu lain yang dijaga bodyguard. Dengan sigap, mereka membukakan pintu dan menyingkap tirai di dalamnya.

Flamin' Hot Lemon - JOHNJAETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang