dua

45 9 1
                                    

Rintik gerimis menemani malam yang cukup dingin di Bandung kali ini. Terkadang suasa seperti ini seirama dengan perasaan sedih, namun tidak dengan Cakra dan Sean. Seperti janji Cakra tadi pagi, selesai kampus keduanya memutuskan untuk makan santai sesuai makanan yang diidam idamkan oleh Sean, ketan susu.

"Gimana kelas tadi?", Tanya Cakra selagi mengaduk segelas bandrek hangat yang ada di meja.

"Meni ribet! Bikin bete!"

Cakra tersenyum melihat jawaban Sean seperti itu, "kenapa sih dari pagi marah melulu?"

Sean menghembuskan nafasnya berat, "dosennya ngomel doang, mana tiba tiba ujian!"

"Apa bedanya sama lo jadi?"

Cakra tahu, pertanyaan tersebut dapat memicu amarah lebih dari Sean, dan hal tersebutlah yang menjadi hiburan bagi Cakra sendiri. Melihat dan mendengar sosok Sean yang sedang emosian itu lucu menurutnya.

"Gue cakep, dia nggak, wle!", Jawab Sean menjulurkan lidahnya.

"Bener sih, Yan."

Keduanya lanjut tertawa, kadang ada saja aksi 'nakal' dari Cakra, seperti mencubit pipi Sean secara tiba tiba atau mengelus rambutnya. Beberapa mata sudah nampak seperti tak suka dengan tingkah mereka, namun keduanya membawa hal tersebut secara santai tanpa permasalahan. Toh, yang menjalani hanya Cakra dan Sean, bukan mereka.

Walaupun keduanya juga bertanya dalam benak masing masing, 'sebenarnya apa yang kita jalani saat ini?'

"Gua perhatiin lo makin deket sama Jefri ya?", Tanya Cakra lagi.

Sean yang tadinya fokus dengan makanannya langsung terdistraksi dengan pertanyaan barusan.

"Hah?", Sean menatap Cakra bingung.

"Ck, lo lagi deket sama Jefri?"

"Kan dia temen gua juga, masalah?"

"Yo ndak lho, marah mulu."

Jujur, Cakra merasa sedikit cemburu. Bagaimana tidak, biasanya yang mampu mabar game online dengan Sean itu hanya dirinya, namun sekarang Jefri juga bisa. Pokoknya Cakra mengclaim bahwa map PUBG hanya berlaku baginya dan Sean, titik.

"Cak, kayaknya hujannya bakal makin deres pas tengah malam nanti. Gua takut lo kehujanan terus sakit, mau nginep aja nggak?", Tawar Sean seperti biasa.

"Iya sih, yaudah, cabut yok?"

Pertanyaan itu segera diberi anggukan oleh Sean. Keduanya memutuskan untuk segera pulang ke rumah Sean. Cakra merasa sangat beruntung bisa diberi hadiah oleh Tuhan berupa sosok rumah seperti Sean, sosok yang baik dan bisa menerima Cakra apa adanya.

Selama perjalanan, suara gemercik hujan terdengar semakin kencang, angin juga mulai ribut membuat hawa semakin mendingin. Nikmat dalam suasana seperti ini tak lain dan tak bukan adalah kehangatan. Kehangatan bisa hadir dalam bentuk apapun, mulai dari cokelat hangat hingga yang lebih manis, pelukan dari yang tersayang.

Dengan segera Sean memeluk Cakra, memang dinginnya tetap terasa, tetapi setidaknya hatinya mulai menghangat.

"Dingin banget, Cak.", Ucap Sean sedikit keras melawan suara derasnya hujan.

"Sabar, bos! Bentar lagi sampe!", Jawab Cakra dengan suara bak melawan hujan juga.

Kalau jahat, bisa saja Cakra memperlambat laju motornya demi menikmati pelukan dari Sean. Momen malam ini rasanya sangat indah bagi Cakra, seharusnya ada media yang memotret mereka agar bisa menjadi kenangan indah sampai hari tua nanti.

dua satu

Setelah membasuh diri, kini Cakra dan Sean hanya merebahkan dirinya di ranjang. Suasana di luar masih sama, hujan semakin deras, angin semakin kencang dan lingkungan sekitar terlihat semakin gelap karena Sean mematikan lampu kamar. Mungkin bagi beberapa orang situasi seperti ini terasa menakutkan, namun tidak bagi Cakra dan Sean. Semakin redup dan sunyi, makan terasa semakin nyaman.

"Makin deres makin nyaman ya.", Kali ini Sean yang memulai pembicaraan.

"Iya", jawab Cakra dengab pandangan ke arah atap, "beda lagi kalau air mata yang makin deras."

"Lo kayaknya ngerti banget perasaan gua.", Sean ikut menatap langit langit kamarnya.

"Karena yang lo rasain juga gua rasain.", Jawab Cakra. "Nggak harus gua perjelas kan?"

Sean hanya tertawa walau perkataan Cakra tak termasuk dalam candaan, "kalau lo menghargai waktu, lo bakal perjelaskan.", Sean diam beberapa saat. "Lo tau kan kalau waktu itu berharga bagi gua?"

Cakra mengerutkan kedua alisnya, menandakan ia merasa bingung. "Kenapa lo selalu bilang waktu itu berharga sih, Yan?"

Diam, tak ada jawaban yang keluar dari bibir Sean.

"Yan"

"Arsean!"

Sean tersenyum lembut, "lo bertanya ke gua aja udah menandakan kalau lo nggak bisa menghargai waktu. Inget, bersama rupanya hanya sementara, sisanya hanya rasa di ujung dan dunia khayal lo aja."

Kata kata tersebut terlalu dalam dan tak dapat Cakra resapi, apa maksudnya?

"Maksud lo?"

"Tidur.", Jawab Sean, "bersyukur lo masih denger nafasnya."

"Hah?"

"Tidur aja, Cak. Gua capek."

dua satu [ cakra's pov ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang