Chilla Dava (1)

1.9K 16 1
                                    

"Cepetan masuk," decakku ketus.
Lelaki itu pun tergopoh-gopoh menggotong kopernya dari bagasi mobil memasuki rumahku.

"Denger ya, lo datang ke sini bukan buat numpang. Ngerti, lo?" Aku mengingatkan lagi posisi lelaki itu di hadapanku.

"Iya, Chilla," jawabnya sembari mengangguk.
"Apa? Coba sebut lagi. Sebut lagi nama gue!" Kucengkeram rahangnya sampai ia benar-benar mendongak dan kewalahan bernapas.

"Mami Chilla, Mami. Mami, maafin gue," gumamnya dengan susah payah.
Aku pun menghempaskan kepalanya dari cengkeramanku.

"Berani nyebut nama gue langsung, gue potong lidah lo," desisku sembari menatapnya tepat di matanya. Ia nampak merinding dan itu cukup bisa membuatku tertawa menyeringai.

Saat ia mulai membongkar isi kopernya di hadapanku untuk kuperiksa, aku pun duduk di sofa menyandarkan punggungku setelah perjalanan panjang. Hari ini cukup melelahkan, tapi tidak apa-apa asal beberapa batang rokok ini masih bisa menyala. Asap beraroma mint mengepul memenuhi ruang tamuku.

"Gue dihormati semua orang, gak ada yang berani manggil gue langsung pakai nama. Kalau lo sampai manggil gue lagi cuma pakai nama, awas aja," ucapku sambil mengamati barang-barang apa saja yang ia boyong ke rumahku.

"Banyak juga barang bawaan lo, emang buat apa? Lo 'kan ke sini mau jadi babu aja," sindirku sembari mengembuskan asap rokok ke udara bebas.

"Tidak apa-apa kalau pun gak boleh dipakai, Mi. Nanti buat pajangan aja juga gak apa-apa," terangnya tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan berbagai macam pakaian yang baru dibongkarnya dari koper.

"Pajangan? Pajangan lo bilang? Lo pikir barang lo yang macam bawaan gembel ini 'indah' gitu? Yang ada menuh-menuhin rumah gue doang," omelku menanggapi harapan konyolnya. Tidak akan kubiarkan lelaki ii memelihara kelakuannya untuk narsis di hadapanku.

"Maaf, Mi," ucapnya menunduk.
"Buruan beres-beresnya, taruh ke kamar lo yang di sana. Gue mau tidur, setelah itu lo masak terserah masak apapun yang penting gue bangun ada makanan," ucapku bergegas meninggalkan ruang tamu dan menuju kamarku. Rasanya enak sekali menghempaskan badan ke kasur yang empuk.

Tahun ini memasuki tahun ketiga Dava menjadi milikku, hanya saja aku baru menurutinya untuk melaju ke jenjang ikatan resmi setelah ia merengek untuk yang ke sekian kalinya. Sekarang akupun bisa membawa Dava untuk tinggal di rumahku tanpa kucing-kucingan lagi dengan tetangga.

Sebenarnya aku tidak bisa tidur sepenuhnya, kepalaku digelayuti oleh histeria sekaligus kekhawatiran tentang hubunganku dengan Dava. Apalagi hidungku tertusuk oleh aroma bumbu menyengat dari dapur. Sialan, masak apaan sih anak itu?!

Selama ini hubunganku dan Dava baik-baik saja, tetapi aku tidak yakin dengan adanya ikatan pernikahan seperti ini. Setiap hari aku bakal bertemu anak itu, meskipun ada untungnya juga karena dengan adanya dia, aku tidak perlu menyewa pembantu lagi.

Kudengar ketukan pintu kamarku dari luar disusul suara langkah kaki. Dava mengantarkan hasil masakannya ke kamarku. Setelah itu tidak terdengar apapun lagi selain deru napas yang samar, napas Dava yang sudah sangat kukenal. Aku membuka mata saat lelaki itu tengah berlutut di sisi tempat tidurku.

"Good, thanks," gumamku.
"Mami nggak tidur?" tanyanya.
"Nggak lah, bau bawang gosongnya kecium sampai sini," jawabku sembari meraih segelas es jeruk yang dibuatkan oleh Dava.

Setelah aku meneguknya sampai tandas, aku memberi isyarat kepada Dava dengan jariku. Lelaki itupun mengerti dan langsung membungkuk di depanku dengan tangan dan kakinya, menempatkan diri sebagai sandaran pengganti meja. Aku menumpangkan kakiku di punggungnya sambil menikmati makan siang hasil buatan Dava.

"Hm, lumayan," gumamku saat memasukkan sesuap nasi gorengnya ke mulutku. Porsinya lumayan besar, Dava selalu masak lebih banyak dari porsi makanku. "Tapi lo bakal tetap dihukum karena ngganggu tidur siang gue," lanjutku sembari menyeringai.

Deru napasnya langsung berubah, kurasakan degup jantungnya di pijakan kakiku mengencang. Sangat jelas menunjukkan bahwa ia penasaran, atau takut? Aku terus mengunyah nasi goreng hingga terkikis setengah piring.

"Bikinin gue jus alpukat," perintahku.
"Oke, Mam," tanggapnya langsung bangkit dari tumpangan kakiku, membuat piring di tanganku nyaris saja oleng.
"Dasar," decakku.

Terdengar deru mesin juicer dari dapur, Dava bergerak dengan cepat. Tapi sebenarnya, baru makan setengah porsi nasi gorengnya saja aku sudah kenyang, kuletakkan sisanya ke lantai dengan piringnya karena aku tidak ingin mengotori kamarku. Jika saja sedang di luar kamar, mungkin aku sudah menumpahkan isi piring ini ke lantai biar nanti Dava yang membereskan.

Lelaki itu kembali lagi dengan segelas jus alpukat, ia berlutut di hadapanku lalu menyodorkannya. Aku mencicipi beberapa teguk, lalu dengan wajah menyeringai kutumpahkan jus alpukat buatannya ke dalam piring, bersisihan dengan nasi gorengnya yang tinggal setengah porsi.

"See? Lo pasti tahu apa yang harus lo lakuin," ucapku memandang wajahnya yang kini sedang melongo, mungkin tidak terima hasil masakannya kunistakan seperti ini.

"Kenapa diam aja? Lo nggak lapar?" Aku meninggikan suaraku dan kembali menatap wajahnya yang kini menunduk.

Perlahan, Dava pun menurunkan badannya dengan ragu. Ketika ia nyaris menyodorkan tangannya ke piring untuk mencomot nasi goreng, aku menepiskannya dengan kakiku. "Enak aja pakai tangan. Ada gitu anjing makan pakai tangan?"

"Maaf, Mi," ucapnya pelan.

Dava makan langsung dengan mulutnya seperti anjing di hadapanku. Aku tersenyum senang melihatnya, lelaki ini memang sepantasnya kuperlakukan seperti anjing. Ia menghabiskan nasi goreng sisaku yang sudah bercampur dengan jus alpukat. Setelah isi piringnya habis hingga tandas, ia menjilatinya.

"Beresin, sekalian lantai kamar gue di pel. Gue mau mandi," ucapku.

Dava mengangguk, ia memang lelaki yang sangat penurut, tidak sia-sia aku menerimanya sebagai suamiku. Jika bukan lelaki penurut, aku tidak mungkin menerimanya, atau mungkin aku akan menyiksanya setiap saat.

Seusai mandi, kamarku sudah kembali bersih, rapih, dan wangi. Kulihat Dava juga sedang membereskan ruang tamu. Aku mengeringkan rambut sembari menunggu Dava selesai beres-beres.

"Mandi lo, lo harus wangi dan siap pakai," seruku saat ia sudah hampir selesai. Aku menghempaskan badanku di ruang tengah sembari memutar lagu dari handphone-ku. Karena kebetulan ada meja yang bisa kugunakan untuk menyandarkan kakiku, aku tidak memerlukan punggung Dava lagi.

Aku memilih-milih lagu yang kira-kira enak didengar sambil menyiksa Dava nanti. Tidak berselang lama, Dava muncul dengan pakaian rapi lengkap dengan hoodie dan topi.

"Ngapain lo? Yang nyuruh lo pakai baju begitu siapa?" semprotku dan membuatnya terkejut seketika. "Lepas, buruan lepas!" lanjutku meninggikan suara dan menunjuk wajahnya.

"Mau ke mana? Lepas sini aja langsung," sergahku saat ia hampir saja melangkahkan kakinya menuju kamarnya.

Aku menyeringai saat Dava dengan terburu-buru melakukan apa yang kumau, tubuhnya gemetar samar. Ia pun menanggalkan pakaiannya dan menyisakan celana boxer-nya saja. Aku menjejalkan sepatuku ke mulutnya.

"Nih, hadiah buat babu yang sok tahu. Lagian ngapain pakai pakaian lengkap siang bolong begini. Lo pikir mau jalan-jalan?" decakku sembari menjejalkan sepatuku lebih dalam lagi ke mulutnya.

"Gak usah digigit kencang-kencang, ntar rusak. Awas saja kalau sampai lepas," lanjutku dengan senang hati. Ia pasti kesusahan untuk menahannya dengan tidak menggigitnya kencang. Kusumpal mulutnya dengan sepatuku untuk meredam teriakannya nanti supaya tak ada tetangga yang mendengar dari luar rumah.

Dava berlutut di hadapanku seperti budak yang bersalah sedang memohon pengampunan. Dengan ujung jemari kakiku, kunaikkan dagu Dava hingga mendongak.

"Hari ini gue bakal kasih lo siksaan selamat datang. Selamat datang jadi suami gue, babu gue seumur hidup yang harus siap gue siksa semau gue," ucapku menatap wajahnya. Matanya sudah mulai berair, aku yakin ia takut, atau mungkin terharu? Tetapi ia mengangguk-angguk tanda setuju dan menerima kehendakku.
***

Submissive Boy (FEMDOM SERIES)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang