i. Bagian satu: Pemuda Bermata Sayu

9 0 0
                                    

Aku mengeluh—lagi. Ah, Tuhan. Sepertinya lebih enak berbaring diatas kasur ini sepanjang hari daripada harus bekerja. Rutinitas yang sudah aku jalani selama lima bulan ini mulai terasa membosankan. Jika kutarik mundur kebelakang sudah berkali-kali aku berganti pekerjaan dengan alasan yang tidak jelas. Jadi bisa kusimpulkan bahwa aku memang cepat bosan.
Tolong jangan salah paham. Aku bukan berasal dari keluarga yang tajir melintir. Justru sebaliknya. Ibuku menikah dengan seorang bedebah yang sudah minggat dari rumah selama satu tahun. Pria berkepala botak itu bahkan meninggalkan hutang yang harus kami berdua tanggung, atau secara teknis aku lah yang menanggung. Bagian terburuknya, Ia juga berhutang padaku. Ironis sekali. Dulu ibuku berhasil kabur dari ayah kandungku yang tukang pukul dan pernikahan keduanya juga tak berhasil. Kemudian sekarang gagal lagi.
Pernikahan selalu terasa sia-sia, rasanya hanya ada hal buruk di dalamnya. Bolehkah aku tidak menikah? Berumah tangga itu rumit. Aku sudah cukup muak dengan diriku sendiri, tidak bisa kubayangkan jika harus menambah masalah lagi dengan menikahi seseorang. Hell no. Melajang dalam waktu lama bukanlah ide yang buruk, aku bisa melakukan banyak hal menyenangkan seorang diri. Atau setidaknya bersama dengan teman-temanku yang lucu itu. Menikirkannya saja sudah membuat perasaanku membaik.

Aku pun beranjak dari kasur, agak terhuyung karena nyawaku belum sepenuhnya terkumpul. Aroma masakan yang baru matang perlahan-lahan menyambutku. Aku jadi teringat kalau semalam belum makan. Sepertinya aku juga akan membuat segelas es kopi untuk mengawali pagi ini.

Bagian Satu: Pemuda Bermata Sayu

Waktu tempuh dari rumahku menuju tempat kerja hanya lima menit. Tidak heran kalau aku sampai terlebih dulu sebelum Rino. Pemuda super tinggi itu memang sering terlambat. Jadi aku memutuskan untuk menunggunya sebelum membuka rolling door ini. Prosedur menyebutkan bahwa kita tidak diperbolehkan membuka store seorang diri. Mewanti-wanti jika ada barang yang hilang dan tidak ada orang lain selain kita, tentu saja perusahaan akan menaruh kecurigaan seperti—apakah dia yang mencuri barangnya?
Tentu saja aku tidak menginginkan hal itu terjadi. Terlebih barang-barang yang dijual disini tidaklah murah. Ada berbagai macam kebutuhan untuk aktivitas luar ruangan. Sebuah merk peralatan outdoor asli Indonesia yang sudah terkenal, haruskah aku menyebutkan merknya?

"Pagi." lamunanku buyar ketika Rino muncul di hadapanku. Disusul dengan sapaan hangat dari ibunya yang duduk di sepeda motor. Biasanya Rino memang diantar jemput seperti ini.
"Oh, pagi. Halo, tante" aku membalas sapaan ibu Rino sembari tersenyum. Sejak awal ¹babat alas disini beliau memang sangat ramah kepada kami semua. Tidak jarang beliau juga membawakan cemilan untuk dimakan bersama-sama. Sungguh, beliau sangatlah baik.
"Ayo, mbak." ucap ibu Rino sebelum menyalakan starter sepeda motornya.
"Nggih, tante. Monggo." aku menundukkan kepala sedikit sembari tersenyum ketika ibu Rino berangsur meninggalkan kami berdua di depan bangunan toko.

Rino menoel pundakku, sebuah kode untuk segera menyerahkan kunci toko yang berjumlah lumayan banyak ini kepadanya.
Ingatanku kembali pada beberapa bulan lalu. Saat ada puluhan orang berpakaian rapi mengantri untuk wawancara disini. Bangunan juga belum sepenuhnya selesai. Bahkan kami semua duduk di lantai untuk wawancara dengan HRD di lantai tiga. Ketika aku mendapatkan panggilan wawancara, jujur saja aku mengira ini penipuan. Karena aku tidak pernah melihat toko merk outdoor di kota kecil ini, terlebih lagi HRD mengirimkan foto bangunan yang belum selesai dibangun. Aku hampir tidak mau datang jika saja ibuku tidak meyakinkanku. Tidak kusangka aku terpilih diantara puluhan orang itu. Padahal awalnya aku hanya iseng, tapi rupanya semua ini menyimpan sebuah tujuan. Bahwa akulah yang nantinya akan menggantikan tugas seorang tulang punggung bagi ibuku. Lucu sekali.

Rino dan aku naik ke lantai dua. Tempat dimana terdapat produk-produk untuk touring dan berkegiatan sehari-hari terpajang. Juga sebuah ruangan berukuran sedang yang digunakan sebagai kantor dan tempat beristirahat untuk karyawan.
Tugas bagi shift pagi adalah membersihkan rak display, mengepel, menghitung uang kasir dan memastikan jumlah produk terpajang sesuai dengan hari sebelumnya.
Aku mengambil kunci di dalam laci untuk membuka brangkas yang berisi uang modal dan uang kas toko. Biasanya aku memang merangkap menjadi kasir, itulah mengapa aku yang akan menghitung uang modal pagi ini. Sedangkan Rino menuju ke lantai tiga untuk mengambil peralatan mengepel.
Kemudian aku mendengar langkah kaki yang terdengar seperti menuju ke lantai dua. Siapa ya? Bukankah pagi ini aku hanya berdua dengan Rino?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 26, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bon Voyage: HerviTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang