"Jadikan aku simpanan Om."
Abian menyipitkan mata nya menatap perempuan yang berlutut di lantai hadapan nya. Sedetik ia meneguk alkohol dalam gelasnya lalu memandangi gadis itu dari atas sampai bawah.
Kemeja karyawan yang membalut tubuhnya dengan payah, kancing nya seakan teriak meminta tolong karna dada nya yang terlalu besar dan rok mini yang hanya menutupi seperampat kaki nya.
"Tyas," Abian memanggil nama gadis itu dan meneguk alkohol nya lagi. "Gaji mu sebagai karyawan terbaik tidak cukup?"
Abian yang duduk di atas sofa dengan pakaian formalnya, celana kain, kemeja putih dan dasi merahnya membuatnya tampak seseorang yang punya kekuasaan ditangan nya.
Tangan Tyas yang berada di atas lutut mengepal, siapapun tahu dia sedang ketakutan. Ia mengigit bibir bawahnya sejenak, "Aku punya tanggungan besar dan ...," Tyas tak berani menatap pria yang duduk di sofa, "Aku muak di goda banyak laki-laki. Ak-aku mau di milikin oleh seseorang yang bikin siapapun ga berani ganggu aku dan orang itu adalah Om."
Abian menatap Tyas datar, ia diam untuk beberapa saat. Seakan sedang berpikir dan itu membuat Tyas gugup setengah mati. Abian harus mau. Hanya ini satu-satu nya cara untuk keberlangsungan hidupnya.
"Apa keuntungan kalau saya menjadikan mu sebagai simpanan?" Abian menaikkan satu alisnya, ketenangan nya yang dalam itu yang membuatnya berbahaya. Dia selalu tenang dalam keadaan apapun.
Tyas menelan ludahnya kasar, ia tampak ragu mengatakan nya tapi ia harus. Takut-takut Tyas menatap pria itu, "Keperawanan ku."
Abian menaikkan satu alisnya. "Kamu masih perawan?"
Tyas mengangguk dalam diam. Senyuman kecil tersungging di bibir pria kepala tiga itu, ia kembali meneguk minuman nya kali ini sampai habis. "Berapa umur mu?"
"Sembilan belas."
Abian tersenyum geli bahkan hampir tertawa, "Untuk apa saya menyimpan anak kecil seperti mu."
"Ak-aku sudah legal, aku bukan di bawah umur—"
"Kamu ga sekolah?" Abian memotong dengan pertanyaan yang membuat Tyas menundukkan kepala nya.
Tyas mengangguk, "Kelas dua belas."
Abian menarik napas, "Diumur mu yang cukup muda sudah bekerja ditempat seperti ini tapi gaji nya tetap tidak mencukupi?" Abian mengangguk samar, "Biaya nya pasti besar."
"Kamu mau saya membayar biaya mu," Abian mencondongkan tubuhnya dengan menjadikan lututnya sebagai sandaran tangan nya, "Dan menukarnya dengan tubuhmu?"
Tyas mengigit bibirnya lalu mengangguk dalam diam.
"Apa yang membuatmu yakin tubuh mu itu sama mahalnya dengan biaya yang akan saya keluarkan?"
Tyas menelan ludahnya kasar. Dia tidak boleh sakit hati dengan kalimat yang dilontarkan untuknya itu. Saat ia memutuskan untuk menyerahkan diri, ia harus sudah siap dengan hal-hal yang akan merendahkan harga diri nya.
"Aku ...," Tyas hendak menjawab, tapi entah kenapa lidahnya kelu. Ia tidak menemukan kalimat apapun yang bisa ia gunakan sebagai jawaban. "Aku ...,"
Saat Tyas kebingungan, tiba-tiba saja pintu terbuka menampilkan beberapa pria yang Tyas kenal sebagai hidung belang masuk.
"Disini rupanya kau, Abian." Mereka masuk ke dalam ruangan yang Abian sewa malam ini lalu melihat Tyas yang berlutut beberapa meter dari pemilik ruangan. "Tyas manis, kenapa berlutut?"
Salah satu dari mereka mendekati Tyas lalu ikut berjongkok dihadapan gadis itu. Satu tangan nya meraih dagu Tyas yang segera gadis itu hempaskan. "Kamu diapain sama Bian? Bilang sama Om."