2. Pake Nanya!

1.4K 254 47
                                    

Keesokan paginya, Danu dan Anjani nongkrong di meja makan dengan keadaan muka kusut masai. Mereka baru bangun di jam tujuh ini setelah tidur cuma dua jam sebab semalam, alih-alih saling mendesahkan nama satu sama lain di ranjang, Danu dan Anjani malah ngobrol ngalor-ngidul.

Sambil ngemil popcorn yang gurihnya membuat Anjani geleng-geleng kepala kegirangan, semua topik dibahas oleh mereka. Mulai dari rumah horor di sudut perempatan jalan dan ajakan Anjani mengeksplor keangkerannya, nge-vlog horor gitu, siapa tahu bisa viral dan sesukses Jurnal Rusa. Tapi Danu dan segala kewarasannya jelas menolak mentah-mentah. Danu tahu sekali gendang telinganya bakal pecah dihajar suara cempreng Anjani bahkan sebelum mereka dapat masuki rumah kosong yang katanya ditunggui Buto Ijo tersebut. Jadi Danu beringsut banting topik ke janda bohay yang seminggu lalu baru pindahan ke rumah sebelah.

Semalam mereka membahas Teh Ira layaknya dua orang yang tak terikat status pernikahan. Kosakata cemburu telah lama lebur dalam kebersamaan mereka. Kompak memuji body Teh Ira yang lebih berlekuk ketimbang gitar Spanyol. Ya gimana ya, keduanya kan berteman sejak kecil dan sama-sama menyukai keindahan—Teh Ira adalah salah satu mahakarya buatan Tuhan yang Anjani syukuri lantaran Tuhan mentakdirkan Teh Ira tinggal di kota Bandung dan jadi tetangganya Anjani.

Malah lebih antusias Anjani daripada Danu dalam menyanjung kecantikan Mbak ayu usia tiga puluh tahun itu.

Alasan keasikan menggosip itulah yang membuat Danu dan Anjani sekarang merenung di meja makan layaknya zombie. Lapar, tetapi terlalu lemah, letih, dan lesu untuk sekadar bawa tangan menyentuh bahan makanan. Alhasil bengong ria sambil memutar ulang dalam kepala, kilasan-kilasan video mukbang kepala kambing dari China yang mereka tonton bersama tadi malam, Danu dan Anjani nyaris sampai pada kata kenyang. Hampir, jika saja suara cacing di perut Danu tidak menjerit-jerit minta keadilan.

Ambyar seketika ilusi mereka perihal lezatnya mengkokop kepala kambing.

"Gue masak, deh," celetuk Danu dan nyaris saja ia beranjak semisal Anjani tak sigap menggapai pergelangannya dan menarik Danu untuk duduk lagi.

"Telor ceplok, Nu?"

"Iya."

"Jangan!"

"Kenapa?"

"Bosen."

"Kok tega lo ngomong gitu sama telor ceplok yang enaknya udah di-approve  Bunda sama Mama Ajeng?" Ia merasa tak berharga lagi. Satu-satunya menu yang bisa Danu buat dan telah dapat pengakuan dua emak-emak sebagai ras terkuat di bumi kini sudah tidak ada artinya lagi. Anjani sudah bosan. Dengan sedih Danu bilang, "Gue bikin buat gue sendiri aja deh, Ja. Lo telor dadar aja gimana? Mau?" tanyanya.

"Telor mulu dah mentang-mentang lo punya biji," gumam Anjani, berbisik.

Tapi Danu dengar. "Heh! Masih pagi itu kepala kenapa udah ke mana-mana aja mikirnya—jadi telor ceplok dua, 'kan?"

Anjani adalah Anjani, si drama queen yang serasa dapat panggung kalau itu Danu lawan interaksinya, pun meraih kedua sisi pipi Danu. Menangkupnya. Dilayangkan tatap penuh keyakinan, lantas menggeleng pelan. Aktris FTV pasti sungkem kalau lihat sandiwara Anjani. "Meski keluarga besar lo dan gue udah tahu telor ceplok bikinan lo enaknya ngalahin masakan Chef hotel bintang lima, tapi please, Nu ... jangan, Nu. Kali ini tahan keinginan pamer lo itu." Anjani mengangguk-angguk tegas demi meyakinkan Danu, tetapi malah disentil pelan keningnya yang sedikit berminyak. Anjani meringis dan tentu ia balas dendam dengan menggaplok pipi Danu sampai bunyi gamparannya menggema sesaat di sepenjuru dapur.

"Kok nabok, Ja?!"

"Refleks." Anjani cengengesan, sekuat tenaga nahan mulut biar nggak bilang kalau pipi kiri Danu sedikit memerah. Lekas kembali disentuhnya pipi Danu, dielus-elus sembari gumamkan maaf.

SweetliesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang