1

30 0 0
                                    

"Dimana Zein?" tanya guru pengurus OSIS.

"Saya di sini, bu." Seorang gadis datang sambil terengah engah.

"Darimana saja kamu?"

"Itu, tadi saya membantu OSIS yang bertugas menyambut murid baru," jawab Zein.

Guru itu mengernyitkan dahi. "Memangnya ada apa? Bukankah semuanya sudah dilaksanakan dengan baik?"

"Itu—"

"Sudah-sudah. Kita akan mengadakan pertemuan anggota inti OSIS." Zein hanya menghela napas lalu mengangguk. "Baik, bu. Saya akan memberitahu yang lain."

"Saya tunggu di lab bahasa," ucap guru wanita itu lalu melenggang pergi.

𝘗𝘶𝘬

Tepukan di pundaknya mengalihkan atensi Zein.

"Haha, kasian banget lu. Gue yang anggota inti aja udah mau pingsan rasanya, apalagi elu yang notabenenya ketos," ucap teman sekelas Zein— Wavi — prihatin.

"Emang kasian banget gue," respon Zein.

𝘋𝘳𝘳𝘵𝘵

"Njing, ditelfon gue. Tolong cariin anak inti yang laen, ya? Gue mau ngambil rompi OSIS. Kalau gak make entar digeprek lagi." Tanpa menunggu persetujuan Wavi, Zein langsung pergi begitu saja membuat Wavi menggerutu.

"Untung sayang, kalo kagak udah gue buang ke sungai nil," gerutu gadis berambut pendek itu, lalu pergi melaksanakan perkataan Zein.

~•~

Zein kini sedang termenung di dalam ruang OSIS yang kosong. Ia memandang layar ponselnya yang mati.

"Gev kok gak ngabarin hari ini, ya?" tanya Zein entah pada siapa. Gev atau Gevana adalah pacarnya. Mereka lesbi? Ya.

Siapa butchy? Zein tidak tau. Dan ia jelas tak menginginkan posisi itu.

𝘋𝘳𝘳𝘵𝘵

Zein memfokuskan pandangan pada layar ponselnya yang tertera nama 'Wavi XII IPS 1'

Zein segera mengangkatnya.

"Lo dimana nyet?! Sini buruan, bu Ari bisa ngamuk anjir kalo kita masuk dulu terus lu telat."

Zein memijit pelipisnya. "Iya iya, gue otw." Setelah mengucapkan itu, Zein mematikan sambungan itu sepihak.

~•~

Zein dan beberapa teman teman OSIS perempuannya kini sedang berada di kantin setelah aktivitas melelahkan mereka tadi.

"Aduh, leher gue sakit," keluh Zein sambil memijit leher belakangnya yang terasa bengkok.

"Masih mending lah leher doang. Gue sebadan sakit semua," celetuk Wavi yang meregangkan tubuhnya.

Zein meletakkan kepalanya di atas meja lalu memejamkan matanya.

"Aaa, ketua kita lemes ges. Gak bisa marah marah dia," celetuk Mili sambil memeluk dan menepuk pelan pundak juga kepala Zein.

"Satu kecupan untuk satu batrai ketua kita," ujar gadis yang baru selesai memesankan mereka makanan, Gabi.

Mereka menyetujui ucapan Gabi.

"Kesempatan emas. Kapan lagi gue bisa nyosor si Zein tanpa diamuk." Ucapan Wavi direspon gumaman tak jelas oleh Zein.

Wavi bangkit dari duduk nyamannya, lalu menghampiri Zein yang masih dipeluk Mili.

cup

"Wavianjing, napa yang lo cium malah tangan gue?!" teriak Mili sambil mengibas ngibaskan tangannya.

"Ya udah tau gue mau nyium kepalanya Zein, kenapa gak lo tarik tu tangan?" sewot Wavi membela diri.

"Zeina Febera."

Zein reflek mengangkat kepalanya saat mendengar suara yang familiar.

"Gev," lirih Zein yang perlahan berdiri lalu berlari menuju Gevana dan memeluknya.

Zein melepaskan pelukannya saat tak merasa Geva membalasnya.

"Kenapa?" tanya Zein.

"Gue pacarnya." Ucapan Geva yang tiba tiba membuat Zein menoleh dan melihat teman-temannya yang terdiam.

"Gue.." Untung saja hanya ada mereka di kantin, juga tempat duduk mereka yang berada di paling pojok membuat pekerja kantin tak mendengarnya.

Zein tak tau harus menjelaskan apa. Ia menghela napas. "Gak papa kalau kalian mau jauhin gue. Gak papa kalau kalian mau jijik sama gue. Gue gak peduli. Gue suka sama Gev," ucap Zein.

Hening.

"Nyet, kalo tau lo suka sama cewek, udah dari SMP gue kejar lo anying," celetuk Wavi pelan. Saat SMP, mereka memang satu sekolah, bahkan satu kelas.

"Punya gue," ucap Geva tanpa ekspresi. Ia menarik bahu Zein untuk mendekat.

Wavi memandang julid. "Kita liat aja entar." Zein melotot mendengar ucapan Wavi. "Hehe, becanda Zey."

~•~

"Gev, kok gak bilang bilang kalo mau balik?" tanya Zein.

Mereka sedang ada di dalam mobil, dalam perjalanan ke rumah Zein.

"Gue mau pindah ke sekolah lo," jawab Geva yang masih fokus menyetir.

Zein hanya manggut manggut sebagai jawaban.

Saat lampu lalu lintas di depan berubah warna menjadi merah, Gev segera menginjak rem perlahan. Namun, ada yang aneh. Kendaraan yang mereka tumpangi bahkan tak berkurang kecepatannya.

Alis Geva menukik tajam, sedangkan Zein menatap rem itu lalu lurus ke depan.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tbc.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Girlfriend (GL) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang