abang hasen #1

3 0 0
                                    


Hasen.
hai, aku hansen
aku sering kali dipanggil dengan sebutan asen, oleh bunda tentunya.
namun sekarang panggilan itu berakhir,
tidak masalah, aku bisa memanggil diriku sendiri dengan sebutan itu.

semakin hari semakin terasa sunyi dimana aku merasakan kehampaan atas diriku sendiri.
saat dimana malam tiba disitulah aku merasakan nya, suara angin dan perpaduan suara musik yang aku nyalakan, aku suka musik dengan alunan lembut dan juga beberapa irama dari sebuah piano.
aku juga menyukai hujan, dimana suaranya yang sangat membuat hati tenang, gemercik suara air yang membuat ku seakan kembali hidup.
goresan demi goresan dengan suara kuas yang aku gesekan pada kanvas, lagi lagi aku terbuai dengan situasi ini.
nyaman, aku ingin melakukannya sampai pagi.
tetapi itu tidak mungkin...
ayah bisa saja datang kapan saja, ia begitu menyayangi putranya sehingga ia tidak mau putranya memasuki kesenangannya.
lagi lagi aku hanya bisa diam ketika ayahku membakar lukisanku, seakan akan hatiku sudah mati rasa.

....

"Sudah berapa kali ayah ingatkan, jangan seperti ini hasen! sekali saja menurut kepada ayah bisa kan!"

"NGGAK BISA, AYAH EGOIS!"
ia bergetar hebat, baru kali ini ia melawan ayahnya seberani ini.

"oh sudah berani kamu ya?ayah hanya minta untuk tidak melakukan hal sialan itu hasen!"

"HAL SIALAN APA YANG AYAH MAKSUD?! JAWAB YAH!..cuma dengan ini yah hasen bisa merasa tenang hasen nggak minta uang dari ayah buat beli ini semua kan! kenapa ayah selalu egois!"
ucap hasen mulai menangis dan menatap ayahnya.

"IYA AYAH EGOIS AYAH TAU! COBA KAMU LIAT ABANG ABANG KAMU TUH YANG NGGAK BODOH KAYA KAMU, AYAH CUMA MAU KAMU KAYA MEREKA"

"PERSETAN DENGAN MEREKA! HASEN MAU JADI DIRI SENDIRI TANPA TUNTUTAN AYAH"
suara lantang itu seakan memenuhi seisi rumah.

PLAKK..

hasen mematung dan masih bercambuk dengan pikirannya sendiri.
pipi tirus itu sekarang sudah berwarna merah.
setelah melayangkan tangannya ayah pergi dengan emosi yang memburu.
abian terus memegangi pipinya yang kebas dan berlari mengunci kamarnya.
dua orang yang sedang memperhatikan kejadian tersebut tersentak kaget saat Abian munutup pintu dengan keras.
kedua orang tersebut saling bertatap yang sulit diartikan.

..

cahaya matahari mulai menyinari seseorang yang sedang tertidur pulas.
Hasen bangun terlambat hari ini, seluruh badannya terasa sakit saat digerakan.
perlahan ia bangkit dari tidurnya.
ia membasahi wajahnya dengan hati hati, sangat sakit jika tersentuh.

"Shhh bangsat sakittt"

"dek lo sekolah nggak"
suara Manuel dibalik pintu
1..2..3..masih saja hening

"dekkk!!"

Ceklek..

"apasih bang berisik"
ucap hasen menatap Manuel
Manuel masih terpaku dalam pikirannya setelah melihat kondisi hasen.
"yeuuu ditanyain kaga nyaut nyaut, sekolah kaga anjir Lo"

"gak, pusing."
jawabnya dingin lalu segera menutup pintu kamarnya.
Manuel menghela nafasnya kasar.

"kenapa bang"
ucap jean yang menghampiri Manuel.

"tuh adek lo, susah bener ah kurang sabar apa gua"

"adek lo juga."

...

Hasen memilih untuk mengurung kan diri dikamarnya seharian penuh.
namun saat malam tiba perutnya seakan kram saat ini, ia mengingat jika ia belum makan dari siang.
perlahan iya menuruni anak tangga dengan pelan, ia takut jika ayahnya akan melihatnya.
Hasen menggambil sebuah roti tawar yang berada didalam kulkas dan memakannya dengan sangat terburu buru.

"ekhem"
suara serak itu mampu membuat hasen mematung ketakutan.

"santai aja sih, gausah buru buru gitu"
ucapnya lagi, ah bian tau suara itu.
hasen lantas berbalik badan dan melihat Jean yang sedang menatap nya tajam.
jean sedikit terkejut saat melihat penampilan hasen yang terbilang tidak baik baik saja.
tatapan sendu itu membuat hatinya sakit melihat hasen
pipi kanan yang merah lebam, dan bibirnya yang sedikit sobek.
ia kira tidak akan separah itu tamparan ayahnya.
Hasen yang merasa ditatap kembali memalingkan diri dan mulai memakan roti.

"belum makan nasi?"

"apa pentingnya buat lu"
ucap hasen dingin.

"sama yang lebih tua yang sopan, ditanyain dijawab yang bener"

"belum."
Hasen tidak ingin memperpanjang percakapannya ia meninggalkan jean dan membawa sebotol air putih.

"tunggu"
Jean menarik tangan bian

"diobatin dulu lukanya, Abang ambilin obat ya"

"nggak usah."

"nurut, tunggu dulu disini ."
Jean dengan cepat mengambil obat obatan yang berada di laci meja.

"sini duduk"
asen menurut
Jean menggambil beberapa obat salep yang ia punya .

"sini, liat kesini jangan nunduk terus"
Hasen tidak kuat ia takut air matanya akan lolos keluar jika melihat abangnya.
rasanya sesak, dadanya sakit melihat abangnya yang masih perduli padanya.
satu air matanya lolos keluar dan membasahi pipinya.
Jean tau situasi ini, ia menghentikan kegiatan nya dan memeluk hasen dengan erat.

"sakitt, ayah jahat sama asen"
ucap hasen yang mulai bergetar

"apa yang sakit, ngomong sama Abang!"

"disini disini yang sakit"ucap hasen memegang dadanya yang terasa sangat sesak.
"Kenapa bian terlahir bodoh bang?"

"hei, siapa yang kamu sebut bodoh itu, nggak ada yang bodoh. adek Abang ngga bodoh"
Hasen hanya bisa menangis.
cukup lama jean membiarkan bian menangis dipundaknya, ia merasa gagal menjadi Abang untuk hasen.

"dekk.."
"dek sini Abang selesaiin dulu, biar ngga sakit"
ucap jean pelan dan mengelus punggung adeknya.
Hasen tidak menjawabnya ia kebingungan lantas melihat wajah hasen.
ternyata adeknya tertidur pulas dipundaknya.

"ngapain lo berdua pelukan gitu, kaya bocah sd anjir!"
Manuel yang datang memasuki rumahnya.
dan melihat hasen yang tertidur.

"bacot bang, liat nih adek lo abis nangis"

"bisa nangis juga dia"

"bantuin pindahin bang, masih sakit nih tangan gua buat bawa nih bocah"
Manuel membawa

....

aku terdiam ketika ayahku mengambil semua lukisan yang telah aku siapkan.
Sakit sangat sakit setengah nyawaku rasanya benar benar pergi, aku tidak merasakan apapun atas diriku sendiri.
Tuhan..
Hatiku sudah mati rasa.

suara api yang di nyalakan menjadi saksi betapa jahatnya yang dia lakukan.
tak menyisakan apapun, semua lukisan ku yang membantuku sembuh sekarang hanya tinggal sebuah abu.
aku memandangi api dengan sisa sisa terakhirnya seakan semuanya telah usai sekarang.
sama seperti diriku disisi inilah aku merasa aku telah usai.
ya.. aku usai.

teringat saat pertama kali aku belajar melukis bersama bunda kala itu..
saat aku pertama kali mencoba menggosokan kuas yang berwarna ke kanvas.
bunda bilang kalau kita melakukan hal yang kita sukai semuanya akan baik baik saja, semuanya akan terasa tenang dan nyaman.
andai bunda tau anaknya yang ia latih melakukan hal yang membuatnya lebih baik sekarang sudah tidak lagi.
maka dari itu semuanya hancur.

aku tersadar ketika merasakan tetesan air darah yang mengalir dari hidungku, segera aku mengusapnya dengan bajuku.
apinya sudah hilang sekarang, hening hanya ada aku dan suara jangkrik yang ntah dimana.
aku melirik kearah jam tangan yang aku gunakan ternyata sudah cukup lama aku tertidur dengan posisi duduk, sekitar satu jam
leherku sakit sekarang.
aku menyadari situasi ini sama seperti dulu aku bersama bunda bersama dalam keheningan, hanya tersisa suara jangkrik dan suara kuas tertawa kita berdua.
aku merenungi hidupku
jadi bunda benar benar pergi, ia tidak akan datang lagi dan memelukku seperti kala itu.

****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perihal Mati RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang