1 - Kebijakan Raja

2.1K 382 155
                                    

Halo, buat pertama kali mampir di lapak aku, salam kenal, aku Jae. Jujur aku deg-degan nulis cerita yang satu ini, karena keluar dari zona nyaman aku😭. Semoga yang aku tulis ini nggak menghancurkan ekspektasi kalian yaa. Selamat membaca✨.

Jangan lupa vote dan komen biar aku lebih yakin sama tulisan ini😭🙏.

❤❤❤

Di dalam aula kerajaan yang megah, keheningan yang membebani menggantung seperti kabut di udara. Pilar-pilar marmer tinggi membungkus ruangan dengan dingin, sementara lukisan keluarga kerajaan terpajang di dinding, menatap ke bawah seolah-olah mengawasi setiap langkah para penghuni istana. Di tengah aula, sebuah meja panjang dari kayu mahoni gelap menjadi pusat perhatian, dipenuhi oleh lilin-lilin berpendar redup, yang nyala apinya bergetar lembut di tengah suasana tegang.

Di ujung meja itu, duduk Raja Malakar, sosok yang tampak seperti bayangan abadi dari kekuasaan yang tak tergoyahkan. Matanya tajam dan dingin, seperti es yang menancap di jantung lawan-lawannya, sementara jubah kerajaan berwarna merah darah melambangkan sejarah kekejaman dan penaklukan yang ia wariskan. Di sisi kanannya berdiri Jendral Varyn, komandan militer Nocturna yang loyal dan kejam, yang wajahnya selalu tertutup oleh helm baja hitam, kecuali sepasang mata merah menyala yang mengintip dari balik celah kecil helmnya.

Di sisi lain meja, duduk empat pangeran dengan sikap berbeda. Clarence, putra sulung, tampak tegang dengan rahangnya terkunci rapat, tetapi tetap mempertahankan kewibawaan seorang pewaris tahta. Wajahnya pucat dalam cahaya lilin, dengan mata gelapnya penuh dengan kekhawatiran yang disembunyikan. Di sebelahnya, Saveri duduk bersandar, pandangan matanya yang tajam tak bisa menyembunyikan kemarahan yang perlahan memuncak. Di sisi lain, Atlas merapatkan bibirnya, tatapannya menerawang ke arah langit-langit, seolah mencari pelarian dari beban percakapan ini. Sementara Arkananta, pangeran bungsu, tampak gelisah, memainkan cincin peraknya dengan jari-jari dingin.

Raja Malakar berbicara pertama, suaranya bergemuruh seperti gempa yang bergetar melalui dinding-dinding kastil.

“Sudah saatnya kita memperluas kekuasaan kita. Klan vampir lainnya mulai bergerak, menciptakan aliansi. Kita tidak boleh terjebak dalam ilusi perdamaian yang rapuh. Nocturna akan menjadi kerajaan yang abadi, dan untuk itu, kita harus melibas semua ancaman sebelum mereka sempat bangkit."

Clarence mengerutkan kening, jari-jarinya mencengkeram tepi kursi kayu. “Ayah,” suaranya pelan tapi jelas, “perang bukanlah jawabannya. Kita tidak bisa terus-terusan memperluas wilayah dengan menumpahkan darah. Klan vampir lainnya bukan ancaman, mereka hanya ingin hidup di bawah naungan peraturan mereka sendiri. Mengapa kita harus menghancurkan mereka?"

Raja Malakar menyipitkan mata. “Karena kekuatan datang dari dominasi, Clarence. Klan-klan itu lemah, dan kelemahan harus dimusnahkan. Apa yang akan terjadi jika mereka bersatu dan menyerang kita? Apakah kau ingin Nocturna berakhir seperti kerajaan lemah yang lain?"

Saveri mencondongkan tubuhnya ke depan, wajahnya penuh kemarahan yang membara. “Mereka tidak berniat menyerang kita, Ayah. Itu semua ketakutan yang kau ciptakan sendiri. Kita bisa membangun perdamaian dengan mereka, atau setidaknya hidup berdampingan. Mengapa kita harus selalu memilih jalan kekerasan?"

Raja Malakar menghempaskan tinjunya ke meja, membuat lilin-lilin bergoyang dan hampir padam. “Kau terlalu naif, Saveri. Dunia ini tidak mengenal kata damai. Perang adalah cara kita bertahan. Itulah yang membuat Nocturna bertahan selama ribuan tahun."

Atlas, yang sejak tadi diam, kini angkat bicara, nadanya lebih tenang, tetapi tak kalah tajam. “Tidak ada yang bertahan lama dalam perang yang terus-menerus, Ayah. Perang hanya meninggalkan kehancuran, bahkan pada pihak yang menang. Apa tujuan dari semua ini? Menguasai wilayah yang kosong, penuh dengan mayat?"

4 Pangeran NocturnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang