Hari itu, langit tampak lebih biru dari biasanya. Di lapangan sekolah yang dipenuhi oleh tenda-tenda kecil, seluruh siswa SMA berdiri bersama, namun dengan perasaan yang berbeda. Beberapa tersenyum bangga, yang lain menahan air mata. Bagi Ryan, hari ini adalah awal dan akhir sekaligus. Ini adalah hari kelulusan, hari di mana kebersamaan mereka di SMA berakhir.
Di tengah keramaian, Ryan berdiri sendiri di sudut. Dia melihat ke arah panggung, tetapi pikirannya melayang ke Lisa. Selama tiga tahun mereka duduk di bangku SMA, Lisa telah menjadi bagian besar dalam hidupnya—teman dekat yang selalu ada, seseorang yang diam-diam membuatnya merasa utuh. Namun hari ini, semuanya akan berubah. Lisa akan pindah ke kota lain untuk melanjutkan kuliahnya, sementara Ryan tetap di sini, melanjutkan hidup yang berbeda tanpa kehadirannya.
Di sisi lain lapangan, Lisa juga merasakan beratnya perpisahan ini. Meski tersenyum dan berbicara dengan teman-teman, matanya selalu mencari-cari Ryan. Ada banyak yang ingin dia katakan, tetapi dia tahu waktu mereka terbatas.
Setelah upacara kelulusan selesai, Lisa akhirnya menemukan Ryan. Mereka berdiri di bawah pohon besar yang biasa menjadi tempat pertemuan mereka selama ini. Angin sore berembus pelan, seolah tahu bahwa ini adalah momen yang tak ingin segera berlalu.
“Jadi, ini akhirnya?” tanya Lisa pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam angin.
Ryan mengangguk, tetapi tidak menjawab. Dia menatap Lisa dalam-dalam, berusaha menghafal setiap detail wajahnya, tawa kecilnya, dan cara dia selalu menyentuh rambutnya ketika gugup.
“Selalu ada awal dari setiap akhir, kan?” lanjut Lisa mencoba tersenyum, meskipun matanya mulai basah.
Ryan menelan ludah, menguatkan diri untuk bicara. “Aku tidak tahu bagaimana rasanya nanti tanpa kamu di sini. Semuanya akan berbeda.”
Lisa mengangguk. “Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi, siapa yang tahu apa yang akan terjadi nanti? Mungkin kita akan bertemu lagi, di tempat yang berbeda, waktu yang berbeda.”
Keduanya terdiam sejenak, menikmati momen terakhir mereka bersama sebelum jalan mereka benar-benar berpisah.
“Kalau begitu,” Lisa berkata sambil melangkah lebih dekat, “terima kasih untuk segalanya, Ryan. Untuk semua tawa, cerita, dan juga kenangan.”
Ryan hanya bisa tersenyum lemah. Dia ingin mengucapkan banyak hal—tentang betapa pentingnya Lisa baginya, tentang perasaannya yang tak pernah terucapkan, tetapi kata-kata itu seolah tertahan di tenggorokannya.
“Jangan lupakan aku, ya,” bisik Lisa sebelum berbalik pergi.
Saat Lisa berjalan menjauh, Ryan merasa seperti ada bagian dari dirinya yang ikut terbawa. Dia menatap punggung Lisa, berharap bisa memutar waktu, berharap perpisahan ini hanyalah mimpi yang bisa dia bangun kembali.
Namun, seperti layaknya semua kisah, ada saatnya mereka harus berjalan di jalur masing-masing. Ryan menghela napas panjang dan melangkah pergi, menyadari bahwa mungkin perpisahan ini bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah awal baru.