Pulang

23 4 0
                                    

Karya : Pingkan Elvita

Mataku masih memandangi layar ponsel dengan sebuah pesan yang barusan kubaca.
"Ibumu sakit Mawar, Pulanglah."

Batinku rasanya tercabik-cabik melihat kalimat yang tertera di sana. Ibu sakit? Benarkah?
Terlintas bayangan Ibu di benakku. Perempuan dengan penampilannya yang tegar itu, padahal rasanya baru kemarin aku melihatnya berjalan memberi makan ternak-ternak seorang diri. Di padang rumput yang luas, ia hanya bolak balik di sana selama berjam-jam.
Tidak. Ibu bahkan tidak pernah kelihatan lelah di malam hari. Ibu selalu kelihatan sangat kuat setelah beraktivitas seharian. Dan dari mulutnya juga masih terlontar kalimat-kalimat pedas, khususnya yang ditujukan padaku.

"Perempuan kok melamun terus, tidak baik Mawar, bekerjalah agar tubuhmu kuat!"
Ungkapannya suatu hari padaku. Padahal, saat itu aku tidak sedang berdiam diri dan melamun. Tanganku memegang sebuah buku. Namun Ibu tak pernah menghargai kegiatan yang aku sukai. Menurutnya itu hanyalah kegiatan tak berguna dan tak menghasilkan.

Sering kali Ibu juga mengomentari kebiasaanku rapat dengan pemuda desa. Ibu tak pernah mengerti tujuan aku mengikuti rapat-rapat itu adalah untuk menyumbangkan pikiran demi kemajuan desa. Baginya, menghalau ternak lebih berguna daripada adu pendapat dan bicara panjang lebar.

Suatu hari aku mencoba menyenangkan hatinya dengan cara memasak sesuatu untuknya, walau sebenarnya aku sangat membenci kegiatan dapur itu. Hasilnya, aku jadi menyesal telah mencobanya karena Ibu sama sekali tidak menghargai masakanku.
"Seperti inilah jadinya kalau anak perempuan hanya bisa belajar. Tak tahu bagaimana cara memasak! Kalau begini siapa yang mau menikah denganmu Mawar?"
Mulai dari sana aku berhenti untuk mencoba memenangkan hatinya.

Sangat kutunggu kesempatan untuk bisa pergi dari rumah, yaitu meneruskan pendidikan ke bangku kuliah. Semua hal telah kucoba, termasuk peluang beasiswa. Sering kali terdengar olehku suaranya dengan nada mengejek ketika melihatku mempersiapkan diri untuk masuk kuliah. Dan aku semakin yakin, aku harus pergi, menjauh dari Ibu, dan dari perkataannya yang selalu menyakitiku.
"Tidak usah capek-capek Mawar! Semua itu hanya akan membuang waktumu! Toh, pada akhrinya perempuan akan kembali ke dapur, apapun kedudukannya!"

Saat itu juga aku menjadi sangat yakin untuk meninggalkan rumah, dan menjauh dari Ibu. Sudah lima tahun lamanya aku tak pernah lagi pulang ke rumah dan menjenguk Ibu. Setiap bulannya aku hanya mengirim sejumlah uang untuk Ibu, tanpa menyisipkan sepatah kata pun.

Tanpa kusadari aku menitikkan air mata. Mengingat bagaimana aku perlahan membenci Ibu. Aku juga belajar melupakannya. Ya, bahkan aku sudah lama menghapus namanya dari kehidupanku.

Dengan sangat berat aku menghembuskan napas, lalu menyeka air mata, dan bergegas mengemas barang-barangku.

Hatiku akhirnya tergerak untuk kembali pulang. Aku tak tahu akan diletakkan dimana mukaku ini ketika bertemu Ibu nanti. Aku bahkan tak berani membayangkan wajah tegarnya itu, mungkin saja wajah itu kini sudah berubah. Penyesalan menyelimuti sebagian besar diriku, air mata tak berhenti menetes. Ingin sekali aku memeluk Ibu dan meminta maaf atas semuanya, bahkan aku akan sujud di hadapannya, dan mengatakan aku sungguh merindukannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang