Chika sedang tertawa riang bersama gengnya, Elois, di sebuah kafe kecil dengan desain minimalis yang nyaman. Jessica, Khloe, dan Alicia duduk di sekelilingnya, bercerita tentang kejadian sehari-hari sambil menyeruput kopi hangat. Sore itu terlihat begitu damai, seperti momen yang selalu mereka dambakan di tengah kesibukan kota. Mereka membahas banyak hal, mulai dari pekerjaan, percintaan, hingga rencana akhir pekan. Suasana hangat dan percakapan ringan itu membuat Chika merasa hidupnya seimbang, meski ia tahu, di sisi lain hidupnya jauh dari kata normal.
"Gue udah gak sabar buat weekend trip kita nih! Kayaknya bakal seru banget!" Khloe berkata antusias sambil memainkan sedotan es kopinya. Alicia dan Jessica mengangguk setuju, menambahkan ide-ide tempat yang bisa mereka kunjungi.
Namun di tempat lain, di markas tersembunyi yang sudah jadi saksi bisu banyak pertemuan dan perencanaan, Reveur, geng motor yang dipimpin oleh Andra, sedang dalam diskusi yang lebih serius. Andra dan para anggotanya—Narendra, Calvin, Radeva, Cakraji, dan Malik—berkumpul di sudut ruangan. Asap rokok tipis melayang di udara saat mereka membicarakan rencana balapan berikutnya. Suasana terasa tegang, tapi Andra, seperti biasa, tetap tenang. Di antara semua anggota, dialah yang paling bisa menenangkan suasana meski dalam situasi sulit.
"Besok malam, kita harus siap. Gue gak mau ada yang kendor. Kita harus menang," kata Andra dengan nada tegas, menatap satu per satu anggotanya.
Radeva bersandar di kursinya, mengeluarkan desahan berat. "Lu yakin balapan kali ini worth it, Dra? Lawannya cukup berat."
Andra tersenyum tipis, "Kita gak pernah kalah, dan kali ini juga gak akan. Trust me."
Namun, di tengah obrolan santai Elois dan diskusi serius Reveur, telepon dari Hinan tiba-tiba menginterupsi kedua geng tersebut.
Di jalan raya yang sibuk, di bawah langit yang sudah mulai gelap, Hinan berdiri terpaku. Matanya menatap tanpa fokus pada sebuah kecelakaan yang baru saja terjadi di depannya. Lampu-lampu kendaraan yang terhenti menerangi tubuh korban, suara klakson bersahutan, dan teriakan orang-orang di sekitar menggema di telinganya. Pemandangan itu, sayangnya, terlalu familiar. Dalam hitungan detik, trauma masa lalunya kembali menghantam. Tangan Hinan mulai gemetar, napasnya tersengal-sengal, dan dadanya terasa sesak.
Kepanikan mulai menguasai dirinya. Dalam kondisi seperti itu, hanya dua nama yang terlintas di benaknya: Chika dan Andra.
Dengan tangan gemetar, Hinan mengeluarkan ponselnya dan mencoba menekan nama di layar, berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang. Telepon itu akhirnya tersambung.
"Chika... Andra... gue butuh kalian... sekarang."
Suara Hinan terdengar bergetar, penuh ketakutan dan keputusasaan.
Chika yang sedang tertawa bersama gengnya tiba-tiba terdiam saat mendengar suara Hinan. "Hinan? Lo kenapa?" tanyanya, segera merasa khawatir. Perasaan aneh mulai merayapi dirinya, menghapus semua keceriaan yang sebelumnya ada di kafe itu.
Di markas, Andra juga merasakan ketegangan dari suara Hinan. Dia segera beranjak, gestur tubuhnya yang tegas langsung menarik perhatian teman-temannya.
Keduanya tahu, ini bukan panggilan biasa. Ini adalah panggilan darurat. Mereka tidak butuh banyak penjelasan untuk tahu bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.
Tanpa membuang waktu, Chika dan Andra membuka aplikasi pelacak yang sudah mereka pasang sejak lama. Sebuah perjanjian tak terucap di antara mereka bertiga: jika salah satu dari mereka membutuhkan bantuan, mereka akan selalu datang, tak peduli apa yang terjadi.
Chika menatap layar ponselnya, melihat titik lokasi Hinan yang berada di jalan raya di ujung kota. "Gue harus pergi. Gue gak bisa ninggalin dia," katanya cepat kepada teman-temannya di Elois.
"Lo yakin gak apa-apa sendirian?" tanya Alicia, khawatir.
"Tentu aja gue gak sendiri, Andra juga bakal ke sana. Gue janji, nanti gue kabarin kalau udah sampai," jawab Chika sebelum bergegas keluar.
Di sisi lain, Andra menoleh pada teman-temannya di Reveur. "Gue harus pergi. Kalian lanjut tanpa gue."
"Kita ikut aja, Dra," Malik menawarkan diri.
Andra menggeleng. "Kali ini, biar gue aja. Ini tentang Hinan."
Tanpa berkata lebih, Andra melesat pergi, menembus malam yang semakin dingin, menuju titik lokasi Hinan yang ditampilkan di ponselnya.
Di jalan raya yang semakin sunyi, Hinan duduk bersandar di trotoar, mencoba mengatur napasnya yang masih tersengal. Sekilas, dunia terasa berputar di sekelilingnya, dan kepanikannya belum juga mereda. Namun, dalam keremangan malam, ia tahu satu hal yang pasti: teman-temannya akan datang. Dan di saat-saat seperti ini, itu adalah satu-satunya hal yang bisa menenangkannya.
Chika dan Andra datang, bukan hanya sebagai teman, tapi sebagai benteng yang tak akan pernah meninggalkan Hinan di tengah kegelapan yang membayanginya.
Hinan masih duduk bersandar di trotoar dengan napas yang berat. Suara sirine dari kejauhan mulai memudar, digantikan oleh gemuruh kendaraan yang berlalu-lalang. Pikirannya berkelana ke masa lalu, mengingat insiden serupa yang memicu trauma ini. Dia berusaha memusatkan perhatian pada suara-suara di sekitarnya, tetapi ingatan tentang kecelakaan itu terus muncul, menyudutkannya ke dalam kegelapan batin.
Namun di saat semuanya terasa hampir tak tertahankan, suara langkah cepat mendekat. Chika tiba lebih dulu. Napasnya masih tersengal karena berlari tanpa henti. Mata cokelatnya menatap Hinan dengan campuran kekhawatiran dan ketenangan yang berusaha ia ciptakan. Tanpa berkata apa-apa, Chika duduk di samping Hinan, menempatkan tangannya di atas bahu sahabatnya. Ia tak perlu bertanya apa yang terjadi. Tatapan kosong Hinan sudah menjelaskan segalanya.
"Hinan, gue di sini," ucap Chika lembut, suaranya nyaris berbisik.
Hinan mencoba tersenyum, tetapi senyum itu terasa lemah. "Gue... gue gak bisa ngelihat ini lagi, Chika... Itu terlalu banyak buat gue."
Chika mengangguk pelan, membiarkan Hinan mengungkapkan semua yang dia rasakan. Dia tahu betapa berat beban yang Hinan tanggung, tetapi dia juga tahu Hinan kuat. Lebih kuat dari yang ia sadari.
Tak lama setelah itu, suara deru motor terdengar mendekat. Andra tiba dengan motor sportnya, menghentikan kendaraan tepat di depan mereka. Helmnya dilepas, memperlihatkan raut wajah penuh ketegangan. Ia segera berlutut di samping Hinan, matanya memindai situasi, memastikan bahwa temannya baik-baik saja.
"Dra, gue gak bisa napas," ucap Hinan dengan nada putus asa.
Andra menatap Chika sejenak, lalu kembali menatap Hinan. "Gak apa-apa, bro. Gue sama Chika udah di sini. Lo aman sekarang. Fokus sama gue, oke? Napas pelan-pelan."
Andra tahu cara terbaik untuk menenangkan Hinan adalah dengan memberinya perintah sederhana. Napas Hinan mulai sedikit teratur saat dia mengikuti instruksi Andra, meski pikirannya masih kusut dengan pemandangan kecelakaan di depannya.
Chika mengambil alih, mengeluarkan sebotol air dari tasnya dan menyodorkannya kepada Hinan. "Minum dulu, biar lo lebih tenang."
Hinan menerima botol itu dan meminumnya perlahan. Rasa dingin dari air sedikit membantu menenangkan tubuhnya yang masih tegang. Dia tidak sendiri lagi. Teman-temannya ada di sini, dan itu memberi rasa aman yang tak tergantikan.
Malam itu terasa panjang, tapi dengan kehadiran Chika dan Andra, perlahan, Hinan mulai bisa mengatasi serangan paniknya. Kecelakaan di jalan mungkin akan selalu membawanya kembali ke masa lalu yang gelap, tetapi dengan mereka di sisinya, dia tahu bahwa dia bisa terus maju. Di dalam kegelapan, persahabatan mereka adalah cahaya yang membuat segalanya terasa lebih ringan.
Andra menatap jalan yang kosong dengan ekspresi serius. "Hinan, lo tau kan kita gak akan biarin lo sendirian? Apa pun yang terjadi, kita selalu bakal ada buat lo."
Chika mengangguk setuju. "Kita ini satu tim, Hinan. Elois sama Reveur mungkin beda, tapi kita selalu ada di pihak lo."
Hinan tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat lelah. "Gue gak tau gimana bisa balas semua ini, tapi makasih, kalian."
Andra dan Chika saling menatap, lalu tersenyum. "Lo gak perlu balas apa-apa, bro. Kita udah janjian dari awal. Teman-teman gak perlu alasan buat saling bantu."
Malam itu, di bawah lampu jalan yang temaram, mereka bertiga berdiri dalam keheningan, namun tanpa perlu kata-kata, mereka tahu betul bahwa ikatan di antara mereka semakin kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSEPERABLE
Teen FictionDi tengah derasnya ketakutan dan kenangan yang menyakitkan, satu hal tetap pasti-mereka adalah perisai satu sama lain, tidak peduli seberapa gelap malam itu. ©️ Pradana