Cerpen: Sahabatku

10 1 0
                                    

Ada beberapa tahapan dalam sebuah hubungan. Kenalan, teman, dan sahabat. Masih ada tahapan lebih lanjut lagi tapi ya itu tidak perlu dibahas disini.

Salah satu hubungan yang ingin ku bahas disini adalah, sahabat. Sebuah hubungan yang mungkin bisa dianggap hampir setara dengan keluarga. Sesuatu yang terkesan biasa, tapi terasa kosong jika kehilangannya. Dan mungkin itulah yang terjadi padaku sekarang.

Namaku Rio. Aku memiliki seorang sahabat. Kami sudah saling mengenal sejak kecil. Bagaimana tidak? Orang tua kami saling mengenal dan rumah kami juga bersebelahan. Justru akan terdengar aneh kalau kami tidak saling mengenal.

Terlebih, karena tinggal di lingkup yang sama, kami juga selalu masuk ke sekolah yang sama. Sejak taman kanak-kanak, bahkan sampai sekarang, SMA. Hal itu membuat kami menjadi sangat dekat. Dan ku pikir persahabatan ini akan terus berlanjut. Tapi pada akhirnya, orang akan berubah.

"Zen!"

Suara teriakan seorang pemuda memanggil nama temannya dari pintu kelas terdengar begitu keras. Membuatku tercekat dan terpaksa menghentikan tanganku yang sedang mengukir tulisan pada buku catatan. Bukan karena suara keras itu yang mengagetkanku, melainkan nama yang pemuda itu panggil membangkitkan sesuatu dalam diriku.

Seorang pemuda dengan surai hitam sedikit ikal bangkit dari kursinya. Tubuhnya yang berdiri tepat di depan mejaku membuat pandanganku menyempit. Ku dongakkan kepalaku. Menatap wajah sumringah yang dia tujukan pada seseorang di depan pintu kelas.

"Ya, bentar!" sahutnya. Kemudian wajahnya beralih ke arahku. Senyum sumringahnya berganti dengan raut datar.

"Rio, udah ya. Capek belajar mulu, mau refreshing," ucap Zen padaku.

Belum sempat aku menjawab, dia sudah pergi lebih dulu. Menghampiri teman-teman barunya, hingga melupakanku disini sendiri.

Zen lah sahabat yang ku maksud.

Zen, orang itu, dia berubah sejak masuk SMA. Mungkin karena faktor internal, dan lingkungan pertemanan barunya, tapi dia mulai melakukan hal-hal yang jauh dari dirinya sebelumnya. Kalau ke sisi yang positif sih bagus, tapi ini sebaliknya. Lingkungan pertemanan seperti apa sebenarnya yang orang itu buat??

"Rio." Suara seorang gadis memanggil namaku sontak memecah fokusku. Ku alihkan pandanganku tuk menatapnya.

"Dina, kenapa?" tanyaku pada sang gadis. Dina adalah teman sekelasku. Sekaligus teman yang juga pernah bersekolah di SMP yang sama. Jika ditanya apakah kami cukup dekat, tentu saja.

"Ku lihat-lihat kau sudah jarang bersama dengan Zen lagi, kenapa?" ucap Dina melontarkan rasa penasarannya.

"Enggak kenapa-kenapa. Mungkin sudah waktunya renggang aja. Dia juga kayanya sudah punya teman baru yang lebih cocok, kenapa memangnya?" balasku sedikit mengangkat bahu seraya tersenyum.

"Waktu SMP kan kalian dekat banget, jadi kalau aku ngeliat kalian nggak barengan rasanya janggal aja gitu. Tapi kalau kau memang nggak apa-apa ya sudah," ungkap Dina.

Setelah mengucapkan semua itu dan menepuk bahuku, Dina beranjak pergi. Pergi menemui teman-temannya disisi lain kelas. Aku menatap itu dengan pandangan sedikit iri. Aku memang bilang kalau tidak apa-apa. Tapi sejujurnya, aku merasa begitu sesak.

Waktu berjalan dengan diriku masih meratapi diri sendiri. Hingga akhirnya jam istirahat berakhir. Rita, sang ketua kelas, berjalan ke depan untuk menyampaikan sesuatu.

"Guys, barusan aku dikasih info kalau kita disuruh ke lab sekarang sama-sama. Semuanya sudah ada di kelas kan?" ucap Rita diikuti dengan pertanyaan. Sontak seisi kelas menolehkan kepala mereka untuk memastikan keberadaan teman masing-masing.

Kumpulan Cerpen LizaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang