1. Kau Aman Bersamaku

0 0 0
                                    

Hidup di dunia yang mengagungkan keelokan rupa pasti mudah bagi si jelita. Orang-orang pun sama berkata bahwa separuh masalah hidup akan selesai hanya dengan menjadi cantik saja. Segala kebodohan tak akan kelihatan sebab tertutup oleh wajah rupawan. Betapa buruk perangai pun akan dimaklumi kalau punya wajah serupa bidadari. Namun barangkali tak ada yang ingin mengakui bahwa menjadi cantik akan membuatmu jadi sasaran iri. Juga menjelma objek cuci mata dan pemuas nafsu binatang para lelaki.

Serena bukan tak mensyukuri rupa dan bentuk yang Tuhan beri. Namun dilabeli jelita membuatnya jadi sasaran para lelaki lapar mata. Tua dan muda, kaya dan jelata, semua senang memandangi gadis itu lama-lama. Betapapun tertutup pakaian yang ia kenakan setiap hari, tapi para lelaki mampu menelanjangi dalam imajinasi.

"Adek cantik, mau kemana?"

Pertanyaan basa-basi dan siulan memuakkan sering mengganggu pendengaran. Gadis itu sudah kebal pada kalimat-kalimat melecehkan, meski saat pertama mendengar ia sempat meraung sepanjang malam. Setidaknya tak ada yang menyentuh tubuh Serena, ia cukup mensyukuri itu saja.

Namun hari ini ketika suara obrolan di ruang keluarga menarik paksa gadis itu dari alam mimpi, menyuguhkan berita paling menjijikkan yang menjamah telinga Serena. Suara pria tua yang familiar berkata ingin mempersuntingnya. Tak ada jawaban. Paman dan bibi tak berkutik. Sejurus suara langkah kaki mendekati pintu kamar, sementara Serena mematung gemetar. Menahan napas kala knop pintu bergerak membuka.

"Rena."

"Bibi...."

Wanita paruh baya itu memeluk Serena. Tubuh gempalnya gemetar oleh rasa takut bercampur marah. Ketakutan yang dibawa serta derap langkah pria tua dan dan anak buahnya sejak pagi tadi. Mengetuk tak sabar pada pintu kayu rumah Elia, seolah memberi peringatan agar cepat dibuka sebelum pintu itu lepas dari engselnya. Lalu kemarahan yang menjelma sumpah serapah, tapi berakhir ia telan pasrah. Hendak menyumpahi tuan Bahar, memaki takdir, atau mencaci diri sendiri sebab tak punya cukup kekuatan dan berani.

Ia berakhir meminta maaf berkali-kali tanpa menjelaskan apa yang terjadi. Mengusap kasar air mata yang telah menganak sungai sejak tadi,  sejurus terburu-buru membuka jendela kamar, meminta Serena keluar.

"Kamu harus kabur, nak. Bibi tidak sudi kalau kamu dijadikan istri si tua bajingan itu."

Sungguh kalimat itu menggetarkan segala berani dalam hati Serena. Tiap-tiap bentuk ketakutan bak memutari kepalanya. Ia takut dijadikan istri jika tak pergi saat ini, tetapi juga takut mengorbankan keselamatan paman dan bibi kalau ia kabur nanti.

Namun seolah paham, Elia memeluk Serena sekali lagi. Membisikkan kalimat yang membuatnya gemetar setengah mati.

"Jangan pikirkan kami, nak. Paman dan Bibi sudah tua, tak apa kalau harus mati di tangan mereka. Pergilah. Hanya ini yang bisa Bibi lakukan untuk menolongmu."

Elia keluar kamar, pura-pura berkata bahwa Serena sedang berganti pakaian dan memoles wajahnya. Meminta maaf serta memohon sedikit sabar dari tuan Bahar, agar mau menunggu beberapa menit saja.

Sementara di kamar Serena, kaki dan tangan gemetar ia paksa memanjat jendela, mendarat pada bebatuan kecil di samping rumah, gadis itu menyisir langkah dengan telapak kaki berdarah. Serena tak tahu harus lari kemana. Ditambah khawatir pada paman dan bibi kini menjelma luruh air mata, membuat dadanya semakin sesak. Namun kepanikan membawanya menuju pelabuhan, tempat yang paling padat pemukiman nelayan.

Suara-suara marah mengikuti langkah Serena. Tiga orang anak buah Tuan Bahar menyusulnya. Gadis itu berteriak sebab luka di telapak kaki seolah meminta ia berhenti.

Jalan semen panas di pelabuhan memberinya sedikit kekuatan. Serena menghambur ke arah sekumpulan wanita paruh baya yang tengah berbincang di tepi pelabuhan.

"Bu, tolong saya...."

Semua wanita di sana berlomba merengkuh Serena, suara-suara panik campur heran bertanya apa yang terjadi pada si jelita. Namun rengkuhan terlepas kala gadis itu menyebut nama Tuan Bahar. Empati yang mereka punya untuk Serena kini beralih pada diri sendiri. Para wanita paruh baya berlari pulang, menutup pintu rumah bahkan mengunci. Seperti terkuncinya pintu hati mereka yang tak bisa dibuka oleh tangis putus asa Serena. Gadis itu meraung berlari, luruh sudah rasa aman yang menghinggapinya tadi.

Ujung pelabuhan sudah di depan mata, sementara di belakang anak buah Tuan Bahar tengah menertawai upaya kabur Serena. Mereka tahu tak ada satupun orang desa yang akan menolongnya. Semua terlalu takut pada pria tua itu, takut anak gadis dan istri mereka dijadikan sasaran baru.

Gadis itu sampai di ujung lebih dulu, satu-satunya yang menyambut hanya laut biru. Ia hampir melompat tetapi dihentikan oleh ragu. Serena melihat sekeliling, mencoba memikirkan cara lain. Sampai seorang pemuda di atas sampan melambaikan tangan, mendayung cepat menuju pelabuhan.

"Ayo, naik!"

Serena menangis lagi. Dalam hatinya meminta agar pemuda ini bukan salah satu dari mereka. Lengan baju panjang berwarna putih yang ia kenakan sudah basah sebab digunakan untuk mengusap air mata. Gadis itu meremas ujung baju, bertanya tak sabar, harap cemas sambil berkali-kali menoleh ke belakang.

"Kamu anak buah Tuan Bahar?"

Suara merdunya semakin terdengar parau, jelas sekali ketakutan di mata bening itu. Namun pemuda di depannya malah menyeringai, bukan pada Serena melainkan para pemuda berkaos hitam yang tengah berlari menuju mereka.

"Kalau iya bagaimana?"

Hilang sudah harapan terakhir yang ia punya. Masih sempat memaki diri bahwa seharusnya tadi ia langsung melompat saja. Sekarang dari laut pun ia sudah dikepung oleh pemuda aneh yang tengah tertawa.

"Aku bukan anak buah si brengsek itu. Aku berani bersumpah. Cepat naiklah."

Anak buah Tuan Bahar sudah berdiri tak jauh darinya. Membuat Serena kian gemetar.

"Hei! Siapa kau?"

Mata gadis itu membulat. Mereka tak kenal pada pemuda aneh di depannya. Secepat kilat ia menuruni tangga pelabuhan, naik ke atas sampan. Pemuda itu tersenyum kemudian mulai mendayung.

"Hei, kalau aku memang anak buahnya bagaimana?"

Serena tak menjawab. Rasa takut membungkam mulutnya, bahkan tak punya berani untuk melihat si pemuda. Bisanya menunduk saja, memperhatikan papan sampan basah yang tengah ia duduki.

"Kasihan sekali."

Gadis berambut sepinggul itu mendongak, mendapati sang pemuda tengah menatap iba padanya.

"Kalau kau tak percaya padaku, melompat saja ke laut."

"A-apa?"

"Bukankah lebih baik mati daripada dijadikan pemuas nafsu oleh lelaki tua yang sudah punya tiga istri?"

Serena mengangguk tanpa sadar. Bahkan kalau pemuda di depannya bukan anak buah Tuan Bahar, ia tak tahu akan dibawa ke mana. Seorang gadis tanpa perlindungan mengikuti pemuda yang bahkan tak dikenalinya. Serena menggeleng. Semua kemungkinan dalam kepala hanya membentuk sebuah akhir berupa bahaya. Ia sudah memutuskan untuk mati saja.

"Ayo buat keputusan sekarang, karena mereka sedang mengikuti kita dari belakang."

"B-bukankah kamu yang akan jadi sasaran mereka selanjutnya karena sudah menolongku?"

Si pemuda tertawa.

"Polos sekali. Kau pikir aku akan tetap di sini setelah melakukan aksi sok berani ini?"

"Apa maksudmu?"

"Kita akan melompat bersama."

Luruh air mata membasahi pipi Serena. Padahal matanya masih sembab tapi menangis lagi karena rasa bersalah pada si pemuda, satu-satunya orang yang bersedia menolongnya kini berada dalam bahaya.

"Maaf dan terima kasih sudah menolongku."

Pemuda itu diam saja. Ia menghela napas kemudian berucap lantang.

"Pandangi langit dan lautnya sekali lagi, ini terakhir kali kau melihatnya sebelum mati."

Serena menghapus air mata. Membiarkan sang pemuda membantunya berdiri. Tepat saat anak buah Tuan Bahar sudah dekat, keduanya melompat.

SerenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang