11. Tanggung Jawab

365 72 5
                                    

Jangan lupa vote komen ♡
Happy reading~

***

Hiruk pikuk pinggiran kota sore hari, tidak kalah ramainya dengan keadaan di kota. Melewati padatnya jalanan saat menjelang malam. Suara bising dan asap kendaraan sudah menjadi makanan sehari-hari.

Seperti halnya tiga motor yang berjalan beriringan menuju sebuah rumah sakit besar. Tiga motor dengan merek berbeda itu mulai memasuki halaman rumah sakit setelah melewati kemacetan. Dua di antaranya berboncengan, sedangkan yang satu hanya seorang diri.

"Aduh pinggang gue," keluh Rangga setelah turun dari motor CBR 250rr hitam milik Hilal. Pemuda berjaket jeans itu meregangkan otot-otot pinggangnya.

"Lo aja kali yang udah jompo, Bang," celetuk Jenin yang turun dari motor merek yang sama, tapi warna berbeda milik Guntur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo aja kali yang udah jompo, Bang," celetuk Jenin yang turun dari motor merek yang sama, tapi warna berbeda milik Guntur.

"Diem lo," ketus Rangga sembari melepas helm hitamnya.

"Tapi yang dibilang Jenin ada benarnya juga," sambung Hilal dengan nada datarnya yang mengundang tawa tiga teman mereka yang lainnya. Sepertinya usia memang tidak pernah berbohong, apa lagi para pemuda yang memiliki pekerjaan berat seperti mereka, tentu penyakit sakit pinggang sudah seperti sahabat. 

"Eh, sebentar." Tangan panjang kecil Rangga meraih ponsel yang berdering dikantong celana jenasnya. Wajah cerianya seketika berubah murung setelah menatap nomor telepon yang terpampang di layar. Tubuhnya seperti membeku, bahkan bola matanya terus menatap benda pipih pintarnya. 

"Ayo." Zaenal menepuk bahu Rangga, mengajak untuk masuk ke rumah sakit. 

Rangga menoleh teman-temannya. "Duluan aja, mama gue telepon," dustanya, karena nomor yang berkali-kali mencoba menghubunginya itu jelas bukan mamanya. 

"Ya udah, kita tinggal, ya." Guntur bersuara kemudian melangkahkan kakinya, kemudian di belakangnya di ikuti teman-temannya yang lain, kecuali Rangga.

Rangga menatap teman-temannya hingga menjauh. Setelahnya dia kembali menatap ponselnya yang sudah tidak lagi menerima panggilan. Namun sedetik kemudian ponselnya kembali berdering. Pemuda berhidung mancung itu mendesah panjang, dengan ragu jarinya segera menggeser ikon hijau pada layar ponselnya. Dia terlihat memejamkan matanya sebentar, kemudian meletakan benda pipih itu ke telinga.

"Iya, Sin." Rangga bersuara, menjawab sapaan adik perempuannya.

"Mas, Sinta minggu depan ujian, tapi belum dapat kartu ujiannya."

Rangga mendesah pelan. "Paling telat kapan?" tanyanya. 

"Dua hari lagi, mas."

Rangga kembali terdiam, mata kecilnya menatap kosong ke depan. Tangannya meletakan helm di atas motor Vario 125 putih milik Zaenal. Berisiknya jalanan yang ada di depan rumah sakit, tidak sebanding dengan berisik otaknya. Menjadi anak sulung dan satu-satunya laki-laki di keluarganya setelah ayahnya meninggal, membuat pemuda berbadan kecil itu harus bekerja keras untuk membantu perekonomian keluarga. Tidak ada yang menuntut, tapi ini kemauan dia sendiri. 

Kesatria GeniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang