SUASANA sore di Roma mulai memudar, memberi ruang bagi malam yang perlahan-lahan turun. Langit di atas kami berwarna oranye keemasan, berganti ungu pucat seiring waktu berjalan. Sinar matahari terakhir berkilau di atas bangunan-bangunan kuno, menciptakan bayangan panjang di atas jalan-jalan berbatu. Kami berdua, aku dan Arman, melangkah di sepanjang jalanan sempit menuju pusat kota yang lebih tua.
"Apa lo ngerasa kota ini penuh cerita tersembunyi?" tanyaku sambil melirik sekeliling.
Langkah kami melewati gang sempit yang diapit oleh bangunan dengan fasad tua—tembok-tembok berwarna krem dan merah bata yang sudah mulai pudar dimakan usia, namun tetap kokoh berdiri, seolah menjaga setiap rahasia yang pernah mereka dengar.
Arman tersenyum samar sambil menghela napas. “Roma emang gitu, Bro. Lo mungkin bakal ketemu lebih banyak dari yang lo kira. Bukan cuma cerita biasa.”
Kami berhenti sejenak di depan sebuah toko roti kecil. Aroma manis dari roti panggang segar menggoda hidungku, membuat perutku yang sudah lapar sejak tadi semakin bergemuruh. Pemilik toko, seorang wanita tua dengan rambut abu-abu yang tertata rapi, berdiri di balik etalase kaca. Tangannya sibuk merapikan roti-roti yang masih hangat di rak, namun matanya dengan cepat menangkap kehadiran kami. Dia tersenyum hangat, seolah menyambut pelanggan lama, meskipun aku baru pertama kali ke sini.
Aku menatap rak etalase, penuh dengan berbagai jenis roti dan pastri yang tampak menggiurkan. Aku menunjuk sebuah roti bundar besar dengan taburan gula di atasnya. “Two packs, ma'am,” kataku dalam bahasa Inggris yang sederhana, berharap dia mengerti.
Wanita itu mengangguk, mengambil dua roti dengan tangan cekatan, lalu membungkusnya dalam kertas cokelat. Tangannya bergetar sedikit ketika memberikan roti itu kepadaku, namun senyumnya tetap tulus.
“Due euro,” katanya singkat, menggunakan bahasa Italia.
Aku merogoh saku jaketku, mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas euro yang baru saja kutukar di money changer beberapa jam lalu sebelum aku mendarat di sini. Kertasnya lebih tebal dan terasa lebih halus dibandingkan uang rupiah yang biasa kugunakan di Indonesia. Warnanya bervariasi; biru, hijau, dan kuning, dengan gambar bangunan bersejarah Eropa yang tercetak rapi di permukaannya.
Aku menyerahkan dua lembar uang euro kepada wanita itu. “Grazie,” ujarku, mencoba untuk sopan.
Dia tersenyum lagi, mengangguk, lalu menyerahkan uang kembalian berupa koin kecil. Koin euro lebih berat dan terasa dingin di tanganku, jauh berbeda dengan uang receh di Indonesia yang terasa lebih ringan dan tipis. Aku sempat memandangi koin itu sejenak, dengan gambar peta Eropa di satu sisi, mengingatkan betapa jauh aku dari rumah.
Arman menepuk bahuku, menarikku keluar dari lamunan. “Udah dapet roti lo, ayo lanjut. Gue udah kelaperan juga.”
Aku tersenyum kecil dan memasukkan koin ke dalam saku, lalu menyerahkan satu bungkus roti ke Arman. “Nih, lo juga,” kataku sambil menyodorkan bungkus roti padanya.
Dia menerima dengan senang hati, dan kami mulai melangkah kembali menuju piazza, mengunyah roti hangat yang lembut di mulut. Rasanya manis dan sedikit kenyal, sempurna untuk mengganjal perut yang mulai lapar.
“Sempet nuker euro di mana, lo?” tanya Arman sambil mengunyah roti di sebelahku.
“Di money changer deket stasiun Termini, pas baru sampe,” jawabku. “Sebenernya gue agak kaget pas pertama kali pegang euro. Lebih tebel dan halus dibanding rupiah. Apalagi koinnya, kayak lebih berat gitu.”
Arman mengangguk. “Iya, gue juga ngerasain hal yang sama pertama kali. Tapi lo bakal terbiasa. Uang di sini juga punya sejarah panjang. Tiap desainnya punya arti, kaya yang lo pegang itu, ada peta Eropa. Kayak bawa sejarah seluruh benua dalam tangan lo.”
![](https://img.wattpad.com/cover/377322437-288-k245441.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Bayang tak Bertepi [DIBUKUKAN]
Romance🏆Juara 2 dalam event City Series oleh Penerbit Book Office. ⚠️Sebagian Part dihapus secara acak, demi kepentingan penerbitan. "Cinta terlarang oleh masa lalu, namun ditakdirkan di kota abadi." Darren Bramasta, seorang penulis muda yang kehilanga...