Seperti yang Anjani bilang, Danu itu tempat bersandar semua orang dalam keluarganya. Danu tidak ingat persis kapan ini dimulai—merasa wajib jadi tangguh demi melindungi Bunda Arin dan kedua saudara perempuannya—tapi mungkin sejak kecil. Sejak Danu sadar bahwa ayahnya tidak berlaku sebagaimana seorang ayah. Ingatan Danu mengabadikan beliau sebagai sosok bajingan. Sosok yang tak bijak dan gagal memimpin rumah tangga. Ah, jangankan membimbing anggota keluarga ke jalan yang benar, dirinya sendiri saja melangkah ke arah yang salah. Biar Danu absen dosa-dosanya; judi dan main perempuan, dan ketika dua kesenangan tersebut terkendala biaya, emosi yang dirasa beliau bakal beliau lampiaskan kepada istri serta ketiga anaknya. Danu paling sering dijadikan samsak—diserbu pukulan hingga lebam muncul sebadan-badan.
Karena katanya jadi anak lelaki harus tangguh. Harus sekokoh dan setegar karang di lautan. Ketika menganiaya, sang ayah bakal beralibi bahwa Danu sedang ditempa. Sedang dipersiapkan untuk hadapi dunia yang suka enggak kira-kira kala memberi perkara. Danu memang betulan jadi tangguh. Danu betulan sekokoh batu karang yang nggak geser dari posisi meski sudah diterjang gelombang berulang kali. Namun, di balik ketegarannya, ada dendam yang menyala-nyala—Danu membenci ayahnya setengah mati. Sampai kemudian beliau berpulang. Kepulangan yang meninggalkan rasa trauma. Kepulangan yang membuat Danu amat enggan dengan kekerasan.
Sejak ayahnya mati, Danu jadi sangat berhati-hati dalam bertindak. Bakal ia lihat sebanyak-banyaknya perspektif sebelum mengambil keputusan. Danu kini jadi sedikit bijak, berkat tragedi.
"Mana mungkin Aa' lupa sama kamu, Na. Keinget-inget terus." Usai dengar sang adik mengungkapkan keresahan dan kecemburuannya, Danu mencoba berikan pemahaman baru pada Nabil.
"Bohong," sanggah Nabil, parau.
Sambil mengelus kepala gadis berusia tujuh belas tahun itu di atas pahanya, Danu berkata, "Na, different stages of life tuh always come with different priorities. Tapi dengan nikahin Teh Anja bukan berarti sayangnya Aa' ke kamu bakal berubah, Na. Sedikit pun enggak akan. I still love you as much as before. Kamu tetep bagian penting di hidup Aa', cuma mungkin sekarang udah bukan prioritas lagi. Tapi masih sama, kok. Aa' masih akan dengerin cerita kamu, akan datang kapan pun kamu minta Aa' datang—enggak ke mana-mana. Aa' masih berdiri di sana, di tempat kamu bisa dengan mudah nemuin Aa'." Kemudian Danu menjeda lantaran Nabil kembali sesenggukan.
"Sakit banget," bisik Nabil.
"Mana yang sakit?"
"Hatinya."
Danu terkekeh. "Pas Aa' mutusin buat nikahin Teh Anja, Aa' janji sama diri sendiri; harus jadi orang yang sama yang selalu ada buat keluarga. Ngerti kok kamu ngerasa ditinggal makanya sedih gini, tapi tolong ngertiin situasi Aa' juga ya. Aa' harap Nabil ngerti dan bisa sedikit sabar selagi Aa' adaptasi sama fase baru di hidup Aa' ini. Bakal Aa' cari cara untuk menyeimbangkan peran—antara jadi suami yang baik buat Teh Anja sama jadi kakak yang baik buat Nabil." Lantas didengarnya isakan Nabila mereda. Terasa ringan paha Danu ketika sang adik bangkit dan kini duduk bersila menghadapnya.
Hidung Nabil merah. Matanya juga. Jejak-jejak basah air mata masih tampak jelas di kedua sisi pipinya. Menatap sayu Danu, Nabil bilang, "Maaf ya, A', aku kekanak-kanakan. Soalnya selama ini aku tuh apa-apa ke kamu, jadi sedih aja pas aku bayangin ke depannya enggak bakal bisa kayak gitu lagi." Nabil nyengir, merasa agak tengsin sudah mencak-mencak, mana jujur banget ngaku cemburu padahal biasanya tsuendere banget ke Danu.
"Wajar kok, Na." Dilihatnya Nabil mengusap wajah, lalu merenung. Danu rasa sudah cukup membujuk, Nabil-nya sudah tidak merajuk, jadi Danu berniat pulang. Tapi sebelum beranjak, Danu bertanya, "Bunda ke mana?" Sebab saat datang tadi, Danu hanya mendapati kesunyian, bukan suara lembut dan tatap teduh beliau.
