HAPPY READING
Beberapa minggu setelah konfrontasi terakhir mereka, Gibran berdiri di pelataran sekolah, memandangi lapangan yang kini tampak seperti hari-hari biasanya. Para siswa berkumpul, berbicara, dan tertawa, seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi. Namun, bagi mereka yang berada di pusat badai tersebut, semuanya telah berubah selamanya.
Pagi itu terasa aneh tanpa bayangan Kirana dan Rahsya yang selalu mengintai. Setelah bukti-bukti manipulasi data, pemalsuan, dan fitnah yang mereka sebarkan terungkap, kedua sosok itu akhirnya dikeluarkan dari sekolah dan dijatuhi sanksi berat. Kirana memutuskan untuk pergi jauh, meninggalkan kota ini demi menghindari sorotan. Sementara Rahsya, yang terbukti terlibat dalam rencana untuk merusak reputasi Gibran dengan dalih persaingan pribadi, dipindahkan ke sekolah lain, jauh dari kehidupan yang pernah ia kenal di sini.
Gibran menarik napas dalam-dalam, merasakan beban yang dulu begitu menghimpitnya perlahan-lahan menghilang. Ia ingat bagaimana mereka berhasil mengungkap kebenaran—bagaimana Irsyad dengan jeli menyusuri jejak digital yang ditinggalkan Kirana, dan bagaimana Adara sendiri akhirnya berhadapan langsung dengan kebohongan Kirana dan Rahsya. Saat Adara menuntut penjelasan terakhir dari Kirana di depan semua orang, Gibran melihat ekspresi yang tak pernah ia kira akan muncul di wajah Kirana—rasa takut.
Mereka tak pernah benar-benar tahu apa yang mendorong Kirana untuk menghancurkan hubungannya dengan Adara. Mungkin rasa iri, mungkin ambisi, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam dan lebih gelap yang tak bisa dijelaskan oleh siapa pun. Tapi pada akhirnya, kebenaran telah terungkap, dan itu sudah cukup bagi mereka.
Suara langkah mendekat menarik perhatian Gibran. Ketika ia menoleh, ia melihat Adara berjalan ke arahnya, senyum kecil menghiasi wajahnya. Ada kehangatan yang dulu pernah hilang di antara mereka kini mulai kembali. Adara berdiri di sampingnya, pandangan mereka tertuju pada lapangan yang sama, namun dengan pemikiran masing-masing.
“Gua kira lo udah balik,” kata Gibran, suaranya rendah namun terdengar lega.
Adara menggeleng, rambutnya yang tergerai lembut tertiup angin. “Gua mau ngobrol sama lo dulu, kalau lo enggak sibuk.”
“Enggak, gua… gua selalu punya waktu buat lo.” Ia mengerling ke arah Adara, sedikit gugup meski berusaha tetap tenang.
Mereka berdua terdiam sejenak, seolah-olah mencari kata-kata yang tepat di tengah suasana damai ini. Adara akhirnya menarik napas panjang dan menatap Gibran dengan sorot mata yang lembut, tapi serius.
“Gua cuma mau bilang… maaf,” ucapnya perlahan, namun tegas. “Maaf karena gua enggak percaya sama lo waktu itu. Maaf karena gua gampang termakan omongan Kirana. Seharusnya, gua percaya sama lo dari awal.”
Gibran menggeleng cepat. “Jangan, Dara. Lo enggak salah. Gua yang salah karena gua enggak bisa nunjukin kalau gua layak buat dipercaya. Semua yang lo rasain waktu itu… gua ngerti.”
Adara tersenyum tipis, seolah senang mendengar jawaban Gibran. “Tapi sekarang gua mau percaya lagi, Bran. Gua enggak tahu apakah kita bisa kembali ke awal, tapi gua enggak mau kehilangan lo sebagai seseorang yang penting di hidup gua.”
Gibran tertegun. Kalimat itu sederhana, tapi memiliki makna yang dalam. Setelah semua yang terjadi, semua luka, dan semua kesalahpahaman, Adara masih melihatnya sebagai seseorang yang berharga.
“Gua juga enggak mau kehilangan lo, Dara,” katanya pelan. “Gua tahu perjalanan kita masih panjang, tapi gua mau kita bisa mulai dari awal. Pelan-pelan. Tanpa tekanan.”
Adara menatapnya lama, lalu mengangguk. “Gua setuju. Kita coba lagi, tapi kali ini… sebagai teman dulu.”
Gibran tersenyum, dan kali ini senyumnya tulus. “Gua enggak minta lebih dari itu. Gua bakal buktiin kalau gua layak buat berdiri di samping lo—bukan cuma sebagai pasangan, tapi sebagai seseorang yang lo bisa percaya kapan pun.”
Adara tertawa kecil, suara tawanya bagaikan musik yang sudah lama tak ia dengar. “Gua akan lihat seberapa besar usaha lo, Gibran.”
Mereka berdiri di sana, di tengah lapangan sekolah yang dipenuhi tawa dan kebisingan, namun dunia terasa hanya milik mereka berdua. Mungkin hubungan mereka tak lagi sama seperti dulu, namun itu tak masalah. Mereka telah melewati badai, dan meskipun ada luka yang tersisa, mereka kini berdiri lebih kuat dari sebelumnya.
“Omong-omong, mana Irsyad?” Adara tiba-tiba bertanya, melihat sekeliling seolah mencari sahabat mereka yang biasanya selalu hadir di saat-saat penting.
“Oh, dia? Lagi urusin sesuatu,” jawab Gibran sambil tersenyum lebar, mengingat bagaimana Irsyad tiba-tiba menghilang pagi tadi. “Katanya mau ketemu seseorang. Gua enggak tahu detailnya, tapi dia kelihatan semangat banget.”
Adara mengangkat alis. “Seseorang? Jangan-jangan dia lagi nyari pacar?”
Gibran tertawa. “Kalau iya, itu berarti Irsyad juga lagi mulai babak baru di hidupnya. Semoga dia dapet yang terbaik.”
***
Di tempat lain, di sebuah kafe kecil di sudut kota, Irsyad duduk di meja luar sambil menyesap kopinya. Ia menunggu dengan santai, pandangannya tertuju pada jalanan yang ramai. Beberapa saat kemudian, seorang gadis muncul dari arah seberang, langkahnya penuh percaya diri.
Kirana.
Dia duduk di hadapan Irsyad tanpa basa-basi, tatapannya tajam namun lelah. “Kenapa lo mau ketemu gua lagi? Bukannya semua udah selesai?”
Irsyad menatapnya tenang. “Gua cuma mau tau satu hal, Kir. Kenapa lo lakuin semua ini?”
Kirana tersenyum miring. “Gua udah jawab itu seribu kali. Karena gua mau Adara tau siapa Gibran sebenarnya.”
“Tapi bukan itu alasan sebenarnya, kan?” Irsyad mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya lembut namun menusuk. “Lo tahu kalau Gibran bukan cowok yang brengsek. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar ‘melindungi’ Adara. Ini soal lo, bukan dia.”
Ekspresi Kirana berubah sejenak, tapi ia dengan cepat menyembunyikannya di balik senyum sinis. “Lo mau tau alasan gua? Simpan aja rasa penasaran lo itu, Irsyad. Kadang, kebenaran lebih baik tetap jadi misteri.”
Ia bangkit berdiri, memandang Irsyad untuk terakhir kalinya sebelum berbalik pergi. “Sampaikan salam gua buat Adara… dan buat Gibran. Semoga mereka bahagia. Gua pamit”
Irsyad menatap punggung Kirana yang menjauh, lalu menghela napas panjang. Ia tahu, ini mungkin bukan akhir yang sempurna, tapi setidaknya mereka semua bisa melanjutkan hidup masing-masing.
- SELESAI -
"Terima kasih telah meluangkan waktu untuk menjadi saksi bisu atas perjalanan kisah yang belum sepenuhnya usai. Sampai berjumpa di cerita berikutnya dengan kisah yang berbeda"
R, 13/10/2024

KAMU SEDANG MEMBACA
Perantara [END]
Teen FictionAdara Bianca & Gibran Narendra adalah kisah tentang pertemuan dua jiwa yang terjalin dalam konflik. Adara, sosok gadis yang sulit percaya dengan orang yang sudah mengecewainya dan Gibran, sosok pemuda yang berjuang untuk mendapatkan hati Adara meski...