Permainan Teh

10 3 5
                                    

Aku duduk di kursi 'Putri', bersebelahan dengan kursi Ratu Rosemary yang megah. Para tamu yang didominasi para bangsawan telah sepenuhnya hadir. Senandung musik sakral menggema dalam keheningan disusul suara pintu yang terbuka.

Sepasang pengantin memasuki ruangan dengan pakaian putih yang elegan. Aku tak pernah membayangkan bagaimana pernikahanku nanti, tapi pemandangan ini membuatku terharu saking indahnya.

Gareth tersenyum dengan pipi merona sembari menggandeng lengan Pangeran Lucis. Lalu matanya melirik ke arahku, seakan-akan ingin memamerkan kemesraan menuju altar yang suci. Aku tersenyum, menyembunyikan rasa yang menggelitik atas kekonyolan ini.

Bisa kulihat kening Gareth sedikit mengerut melihat ekspresiku yang tenang. Ingin sekali kukatakan di depan wajahnya yang angkuh itu, 'Aku bukan Lizbeth'. Setelah saling pandang beberapa saat, Gareth memalingkan kembali lirikan matanya dan menatap lurus.

Kini pandangan tertuju pada pria jangkung berpakaian serbaputih yang serasi dengan mempelai wanita. Mulai menimbang dan menilai rupa. Ya, ketampanan itu bersifat relatif dan menurutku---dia tidak terlalu tampan, tidak juga dibilang jelek. Entah jika di mata Lizbeth.

Dengan tenang, aku mengikuti arus acara yang khidmat. Riuh tepuk tangan menggema saat bibir kedua mempelai menyatu dalam satu ciuman panjang, diakhir senyum bahagia keduanya. Dengan getir, tanganku turut memberi tepukan ringan.

Lagi, mataku tak sengaja melihat Raja Atalaric. Ia terus menatapku dengan senyum misterius, seolah-olah tak peduli pada kemeriahan yang tersuguh di sekitarnya. Aku pun menjadi waspada dan salah tingkah.
Kini waktunya acara melempar bunga pengantin. Para gadis bangsawan berdiri di bawah altar dengan antusias untuk memperebutkannya.

"Putri, lempar pada saya, Putri!" Lengkingan suara mereka memenuhi ruangan, seperti penggemar di sebuah konser.

"Maaf, bunga kebahagiaan ini ... akan kuberikan pada saudari saya. Putri Lizbeth."

Aku yang hendak meneguk anggur merah, terpaksa berhenti sebelum gelas menyentuh bibir. Bisa kulihat senyumnya yang merekah disertai sorot licik yang tersembunyi dalam kelembutan wajahnya. Gareth bermaksud melihatku patah hati.

Ya, aku bukan Lizbeth. Dengan senyum berani, aku melangkah penuh percaya diri. Tanpa raut merana atau air mata nestapa.

"Terima kasih dan kuucapkan selamat untuk saudara kembarku yang berbahagia," sahutku, menerima seikat lily putih yang cantik.

Gareth mendekapku, mesra. Dalam kalimat lirih ia berkata, "Kau sengaja memakai gaun dengan warna mencolok untuk menarik perhatian, ya? Kasihan sekali. Penampilanmu itu takan membuat Pangeran Lucis berpaling padamu."

Aku membalas dekapannya. "Itu yang kau pikirkan? Padahal ... warna yang kupilih ini sebagai simbol suka cita atas kebahagiaanmu. Lihatlah para tamu yang lain. Mereka seperti orang-orang berkabung. Bedanya tak ada peti mati di sini."

Gareth melepasku seketika dan mendorongku lirih. Ia menatapku lekat, berusaha mengorek isi hatiku. Nyatanya, aku sama sekali tak cemburu sedikit pun.

"Bagaimana kau bisa mengatakan hal kejam seperti itu?" ujarnya lantang sehingga bisa didengar seluruh tamu.

Aku terpaku seketika, menyipitkan mata. Meraba rencananya dengan kalimat itu.

"Sayang, ada apa?" Pangeran Lucis yang mendengar pengantinnya merengek pun menghampiri penuh khawatir.

"Dia mengatakan hal kejam padaku," adunya.

Menarik napas panjang. Astaga, bagaimana ini? Dia berusaha mempermalukanku di depan tamu.

"Putri Lizbeth, hal kejam apa yang kau katakan?" tanya Baginda Raja yang terlihat menahan murka.

"Dia bilang bahwa sebaiknya ada peti mati di altar."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aquamarine : Dunia Lain Dalam Permata BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang