[ 7 ] - Bungkam!

32 8 16
                                    

⚠️⚠️

Insiden yang di cantumkan dalam chapter kali ini berasal dari kejadian yang pernah viral di Indonesia. Nama dan tempat di ubah supaya tidak terjadi kesalahpahaman.

⚠️⚠️

Masih sama seperti hari-hari sebelumnya, hampir seluruh penjuru asrama mulai sepi ketika menginjak malam. Sekitar pukul dua puluh lewat empat menit, Theo berjalan menyusuri lorong lantai tiga. Setelah Okki mengundurkan diri dari SMA Plumeria, Theo semakin merasa kalau dia sendirian. Jadi ia tidak betah terus sendirian di dalam kamar.

Suasananya sangat sunyi, seakan-akan dinding asrama itu menyerap seluruh suara yang ada. Hanya derap langkahnya sendiri yang di dengar oleh Theo, serta racauan jangkrik yang semakin intens. Kadang kala aroma bunga kamboja menyeruak masuk ke dalam indra pembau, namun Theo sudah terbiasa akan hal itu.

Lingkungan SMA Plumeria memang di tumbuhi oleh banyak pohon kamboja. Tidak peduli apakah bunganya masih bermekaran atau masih kuncup, aromanya akan tetap menyebar kemana-mana.

Theo kesulitan fokus akibat tak menemukan jawaban akan kematian Noah dan Tammam. Dia sendiri sadar kalau dirinya mulai ikut campur sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi urusannya. Tapi segalanya terasa meresahkan sekarang, dan Theo tetap ingin mencari tahu sebisanya.

"Halo...? Iya, ketemu di kamar Shaka aja." seru Theo pada Sufi melalui sambungan telepon.

Karena terlalu banyak termenung, Theo sampai lupa kalau ia juga janji untuk pergi bersama dengan Sufi. Mengingat kamar mereka hanya berjarak empat pintu.

"Shaka..." panggil Theo seraya mengetuk pintu dengan nomor 030 itu. Karena terburu-buru, Theo juga lupa memastikan apakah Shaka sudah kembali dari perpustakaan atau belum. Namun seharusnya ada satu orang temannya yang tinggal di dalam.

Pintu terbuka perlahan, lalu muncul sosok laki-laki yang tingginya kisaran 178 cm, ia memiliki warna kulit yang cukup cerah, sepasang bola mata berwarna almond dengan bulu mata lentik di ujung kelopaknya.

"Oh, Theo? Shaka belum balik." kata Sagara Elgar, teman sekamar Shaka.

"Sorry, gue lupa banget bilang ke Shaka kalo mau mampir." Theo menggaruk punggung kepalanya. Sedikit canggung karena ia tidak begitu akrab dengan Elgar.

"Masuk dulu aja, nunggu di dalam." Elgar mempersilahkan Theo untuk masuk. Diluar dugaan, dia begitu lembut menyambut tamu Shaka. Ia bahkan langsung menggelar karpet untuk alas duduk.

"Lo nggak takut sedikitpun ketika gue dateng? Lo nggak percaya sama rumor hantu cermin yang mulai beredar?" tanya Theo begitu ia mengambil posisi nyaman untuk duduk.

Elgar menutup pintu, kemudian kembali ke hadapan meja belajarnya. Di atas sana, Theo bisa melihat banyaknya tumpukan berkas. Karena Theo mengajaknya bicara, Elgar memutuskan untuk menjeda sejenak pekerjaannya.

"Lo gak mirip hantu juga, si." jawab Elgar sedikit bergurau.

"Bisa ngelawak juga ternyata." sahut Theo, meskipun ucapan Elgar sama sekali tidak menggelitik perutnya.

Elgar kembali memutar kursinya, menghadap meja. Wajah seriusnya itu mulai meneliti satu per satu dokumen di depannya. Tangannya begitu cekatan mencatat, memastikan tidak ada satupun berkas yang terlewat.

"Mau di bantu gak? Itu berkas OSIS, kan?" tanya Theo.

Elgar menggeleng pelan. "Nggak, gapapa. Gue udah mau kelar kok."

Theo mengangguk, lalu kembali duduk sambil menunggu kedatangan Sufi dan Shaka. Entah siapa yang akan lebih dulu sampai. Ia lebih khawatir karena Sufi tak kunjung datang, padahal jarak kamarnya tidak terlalu jauh.

BLOODY MARY - [ ON-GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang