Anjani kena batunya. Akibat semalam hujan-hujanan, pagi ini ia meringkuk tak berdaya di ranjang. Resmi demam. Padahal Danu membersamai Anjani rebahan di bawah hujan hingga basah sekujur badan, tapi Danu tidak ikutan meriang. Danu bangun dalam kondisi prima. Terlihat jelas betapa timpang perbedaan ketahanan tubuh mereka, Danu si maniak olahraga dan Anjani yang berprinsip bahwa waktu luang itu harus digunakan untuk rebahan.
Kalau Anjani sudah meriang begini, Danu juga yang repot. Sebab Anjani manjanya ampun-ampunan pas sakit. Danu sih sebenarnya tidak keberatan harus mengurusi Anjani. Ia sejak dulu pun sudah demikian; jadi yang paling repot—lebih repot daripada keluarga Anjani sendiri. Akibat Anjani apa-apa maunya ke Danu. Mau disuapin Danu. Ditunggui Danu. Dibantu minum obat juga sama Danu. Pokoknya Danu tidak diperbolehkan hengkang sedetik pun dari sisi Anjani, bak menjelma induk ayam yang dituntut untuk mengurusi anaknya. Sampai-sampai Jafran yang kakak kandung Anjani jealous sekali.
Itu dulu, ketika status mereka masih di batas teman. Apalagi sekarang saat mereka terikat pernikahan. Lihat saja kini Anjani tidak membiarkan Danu beranjak satu senti pun dari ranjang. Dipeganginya erat-erat lengan kanan Danu. Kedua kakinya melilit di paha lelaki itu. Danu yang sudah kelewat biasa ditempeli cuma terkekeh geli. Ia tak berusaha beranjak meskipun hari ini jadwal kerjanya dimulai dari pagi, kalau sesuai rencana sih kelarnya jam lima nanti. Namun, kalau Anjani-nya sakit begini, Danu mana tega biarkan Anjani di rumah sendiri. Nggak bakal tenang Danu dalam mengarungi hari.
Tapi masalahnya, hari ini Danu tidak boleh mangkir dari kerjaan. Schedule pemotretan penting tidak boleh Danu tinggalkan. Makanya sekarang lelaki itu bimbang. "Hari ini jadwal gue full sampe sore, tapi gue nggak bisa fokus kerja kalau lo sakit gini. Ikut ke studio aja gimana, Ja?" Danu bergerak pelan mendudukkan diri, lalu tarik tangan Anjani yang menggamitnya, dibawa ke dalam genggam. Kini dapat Danu lihat dengan jelas wajah sayu Anjani, bibir dan pipinya kemerahan akibat suhu panas menggerayangi. "Ikut ya, Ja?"
"Ada Rakyan gak?"
"Gak ada. Udah gue kunyah."
"Lepehin gak?!"
Danu merotasi bola mata. "Ada juga mana mau dia ngurusin lo sih, Ja."
"Gue enggak minta diurusin, tapi gue rasa kalau ngelihat Rakyan kayaknya gue bakal langsung sembuh." Anjani cekikikan. Dalam kondisi sakit pun sempet-sempetnya mengkhayalkan Rakyan. "Kalau nanti gue hamil, gue mau sering-sering main sama Rakyan. Biar anak gue ketularan gantengnya."
"Nggak bakal gue izinin. Enak aja."
Anjani mendelik. "Dih, kenapa?!"
"Gue udah capek-capek bikin, masa pas lahiran malah mirip orang yang bahkan gak ikutan pas kita bikinnya?"
"Rakyan diajak atuh." Anjani refleks memejam dan tergelak serak tatkala Danu melempar pelan ujung selimut dan mendarat sempurna di wajahnya. Begitu disibak, Anjani dapati ekspresi dongkol Danu. "Tapi emang bikinnya capek ya, Nu?" Lantas kerjapan polos pun dipertontonkan Anjani, tapi tidak berhasil menipu Danu. Di mata Danu, raut wajah sok lugu itu justru sukses membuat pundak Danu meremang, soalnya punya vibes kayak psikopat di film-film yang pernah disaksikannya.
"Coba tanya A' Jafran."
"Bisa, sih—bisa digampar."
Danu terkekeh. Diusapnya lagi kening Anjani. "Nggak usah nanya-nanya, Ja. Nanti juga tau capek atau enggaknya."
Detik itu juga mata Anjani mengerling jahil. "Mau nyari tahu sekarang gak?"
Danu berdecih, lantas menoyor pelan dahi Anjani, tetapi sejurus kemudian tangannya terulur menggapai bahu si perempuan. Ia bantu Anjani naikkan kepala ke pangkuannya. Danu praktis menunduk demi menatap sepasang mata yang kehilangan binar ceria itu.
"Jangan sakit dong, Ja." Menggunakan punggung tangannya, Danu mengelus semburat merah yang timbul samar di pipi si cantik. Namun, sesudah itu dia mencubit pucuk hidung mancung Anjani dan ngomel-ngomel, "Lain kali sampe pagi hujan-hujanannya ya, Ja."