Dunia masih berupa taman bermain raksasa saat usiaku lima tahun. Hari-hariku dipenuhi tawa, mainan, dan pelukan hangat Ibu. Ayah, dengan kumisnya yang geli, selalu punya cara membuatku terkikik.
Tapi kemudian, taman bermain itu runtuh. Warna-warna ceria memudar digantikan abu-abu yang menyesakkan.
Ibu pergi jauh, ke negeri yang katanya dipenuhi gedung-gedung menjulang tinggi.Ayah, yang biasanya ada di sampingku saat tidur, kini hanya sesekali datang. Wajahnya tak lagi secerah dulu, digantikan guratan lelah dan tatapan yang membuatku takut.
Kakak laki-lakiku, yang selalu melindungiku dari anak nakal di taman, kini tinggal di rumah berbeda. Aku berpindah-pindah, dari rumah nenek ke rumah bibi, selalu merasa seperti tamu yang tak diharapkan. Tatapan orang-orang dewasa membuatku meringkuk. Kebencian, kasihan, dan jijik bercampur aduk dalam sorot mata mereka.
"Anak pelakor," bisik mereka, kata yang saat itu tak kumengerti artinya, namun terasa seperti tamparan di hati kecilku.
Kenapa semuanya berubah? Kenapa Ibu pergi? Kenapa Ayah bersama wanita lain? Kenapa mereka semua menatapku seperti monster? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku, mencari jawaban yang tak kunjung kutemukan.
Aku hanyalah anak kecil yang kehilangan dunianya, terjebak dalam labirin pertanyaan tanpa pintu keluar. Dan di tengah kekacauan itu, aku harus belajar tumbuh, memahami arti "keluarga" yang ternyata begitu rumit dan menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA LUKA MENJADI PIJAKAN
Non-FictionMelalui pengalaman yang menyakitkan, aku belajar bahwa setiap luka yang kudapatkan adalah pelajaran berharga. Dalam setiap detak jantung yang penuh harapan, aku berusaha memahami arti sejati dari kesedihan dan bagaimana ia dapat mengubah hidupku. Ke...