Muzan menatap anak laki-laki yang duduk di depan, abaikan luka-luka dan darahnya yang merembes dari kulitnya. Anak yang harusnya pingsan ini, tersenyum dengan cara yang membuatnya tak nyaman. Rasa percaya diri itu seakan menjadikan situasi ini adalah hal yang dia tunggu.
“Mau melakukan taruhan raja iblis?”
Mata merah anak itu berkilau.
“Kau sadar posisimu sekarang? Kau tidak dalam posisi yang dapat melakukan negosiasi atau taruhan denganku. Aku tuanmu mulai sekarang”
Beberapa jam lalu Muzan menawarkan perjanjian jika dia akan berhenti memburu manusia namun sebagai gantinya pemburu iblis tidak akan bersinggungan dengannya dan Muzan meminta pemburu iblis pernapasan matahari yang sekarang ada di depannya.
“Aku berencana untuk menjadikanmu ternak darah, jadi jangan khawatirkan nyawamu. Kau akan terus hidup sebagai ternakku yang berharga”
Anak ini terlalu berharga untuk di bunuh, tidak mungkin Muzan akan melewatkan darah yanv berharga hanya karena rasa kesalnya pada orang yang sudah mati ribuan tahun lalu.
“Jadi kau akan membuatku hidup namun disaat bersamaan mati?”
Mereka bertatapan.
“Kau mau aku menderita, Muzan?”
“Kau tidak mungkin akan membayangkan hidup dalam kenyamanan, kan?”
Anak itu bersenandung.
“Mau bertaruh?”
Muzan akan membuat anak ini mengerti.
.
.
Gambler
.
.
Jika ada penjudi terbaik, maka Douma akan menyebut istri tuannya. Anak manusia yang berumur enam belas tahun dengan rambut dan mata merah, anak dengan wajah polos dan kebiasaan yang tidak cocok.“Aku menang Douma, pindahkan nama bangunanmu yang di Asakuza jadi milikku”
Douma mendengus, dia kalah lagi.
“Nyonya bisa kah kau mengalah sekali saja untukku?”
Anak itu tertawa.
“Kau yang menantangku bermain, padahal sudah tahu aku tidak pernah sekalipun kalah judi”
Douma terkekeh, peruntungannya gagal lagi kali ini.
Tempat favorit istri tuannya adalah tempat ini, distrik lampu merah. Di setiap sabtu malam, maka istri tuannya akan bermain di tempat ini. Membuat beberapa manusia kalah dan kemudian membuat mereka putus asa karena kekalahan mereka.
Ini pukul tiga pagi, mereka ada dalam perjalanan pulang dan seperti biasa mereka mampir ke jembatan ini. Tidak ada yang mereka lakukan, hanya diam di atas jembatan merah ini menatap aliran air.
“Nakime”
Hanya itu dan mereka kembali.
Muzan menatap istrinya yang kembali lewat dari waktu yang ditentukan, istrinya mendarat di kepala Hatengu. Istrinya sangat tidak menyukai uppermoonnya yang satu ini.
“Kau terlambat”
“Benarkah? Aku tidak sadar, bukannya baru jam tiga pagi?”
Muzan menghela nafas, istrinya suka sekali bermain-main.