18 Agustus
Aku melepas mantel biru yang sudah beberapa jam menempel di tubuhku, membiarkan dingin meresap perlahan. Berdiri sendirian di depan halte, aku memandang jalan yang semakin basah oleh rintikan hujan yang kian deras. Suasana sepi, hanya ada suara gemericik hujan yang menemani kesendirianku.
Tiba-tiba, dari kejauhan, aku melihat seseorang berjalan cepat mendekat. Ia berhenti tepat di depanku, tubuhnya tertutup mantel hitam yang terlihat basah. Wajahnya tak begitu jelas terlihat karena tertutup oleh kapucongnya. Meski begitu, aku bisa merasakan tatapan yang mengarah padaku. Aku tak bisa menahan diri untuk diam-diam meliriknya, berharap dia bukan hanya sekadar bayangan dalam hujan.
Aku ingat jelas, pria itu adalah dia yang duduk di sebelahku tadi pagi. Sempat memberikan sebungkus permen saat aku tampak kelelahan. "Hai, Aldi ya?" tanyaku sambil mencoba tersenyum meski hatiku masih diliputi kegelisahan.
“Oh, iya, aku Aldi,” jawabnya dengan suara hangat, sedikit kaget tapi tetap ramah. "Siapa?"
“Aku Bhe,” sahutku pelan, “kita duduk berdampingan tadi.” Aku menahan tawa kecil, mengingat betapa canggung suasana di antara kami sepanjang perjalanan sebelumnya. Ternyata, hujan ini mempertemukan kami lagi.
“Ah, halo, salam kenal,” Aldi menjawab dengan senyuman, tapi aku bisa merasakan sedikit keraguannya. “Iya,” balasku singkat, tersenyum canggung sambil mencoba mengalihkan pandanganku dari tatapan matanya.
Hujan masih turun deras, menambah suasana dingin dan sepi. Aku berdiri diam di depan halte, merasa bimbang, entah harus pulang sekarang atau menunggu hujan reda. Suasana sunyi ini membuatku semakin gelisah, tapi entah mengapa, kehadiran Aldi sedikit memberikan rasa hangat di tengah hujan yang tak kunjung henti.
“Eh, Aldi, aku balik dulu,” ucapku sambil melirik hujan yang masih deras.
“Eh? Masih hujan, Bhe,” balasnya, terlihat sedikit khawatir. Aku menatapnya sebentar, lalu melihat mantel biru yang sempat kupakai. Dengan sedikit enggan, aku kembali memakainya, berharap hujan segera reda. “Aku pakai ini, tenang saja. Aku duluan, ya.”
“Mau aku antar?” tawarnya, suaranya terdengar lembut namun tegas.
“Nggak usah,” jawabku cepat, tapi sebelum aku bisa benar-benar pergi, dia mendekatiku. Tanpa banyak kata, kami akhirnya berjalan bersama di bawah rintik hujan, dengan keheningan yang terasa nyaman.
Saat kami tiba di persimpangan, semuanya terasa cepat berlalu. Hujan yang tadinya mengguyur deras kini mereda, dan aku tersenyum kecil sebagai bentuk terima kasih. Aldi menatapku sejenak, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi memilih untuk tetap diam.
“Terima kasih, Aldi,” ucapku pelan, mencoba mengisi kesunyian di antara kami.
Dia membalas senyumku, “Sama-sama, Bhe. Aku pergi dulu, ya. Hati-hati di jalan.” Dengan langkah tenang, dia berpamitan dan perlahan menjauh. Aku menatap punggungnya yang semakin kecil, merasa ada sesuatu yang tertinggal, tapi membiarkannya berlalu begitu saja.
"Hati-hati juga, Aldi," ucapku pelan, melihatnya berjalan menjauh hingga punggungnya benar-benar menghilang dari pandanganku. Hujan sudah berhenti sepenuhnya, tapi dinginnya masih terasa menusuk.
Aku melangkah perlahan menuju kamar kos kecilku, pintu kayu berderit saat aku membukanya. Suasana di dalam kamar terasa begitu sepi, seolah menunggu untuk diselimuti oleh keheningan yang mendalam. Meletakkan mantel biru di gantungan, aku duduk di tepi ranjang, menatap jendela yang masih basah oleh rintik hujan yang tersisa. Kos kecilku mungkin sederhana, tapi di sinilah segala pemikiran dan perasaanku berlabuh.
______
Kedekatan kami mulai tumbuh perlahan, berlabuh pada hal-hal kecil yang mungkin tampak biasa saja bagi orang lain. Kami sering berbagi pengetahuan—tentang mata kuliah, buku, atau sekadar obrolan ringan. Setiap kali bermain bersama atau pulang pergi berdua, ada perasaan hangat yang tak bisa diabaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara
Teen FictionRuang antara dua hati yang tak mungkin untuk bisa bersatu, mencari tempat dimana cinta mereka dapat berseru, namun pada akhirnya rumah yang mereka cari harus pupus tanpa kepastian.