Bunda itu orangnya berhati lembut, sabar dan tidak pernah bernada tinggi ketika berbicara kepadaku. Orang yang ingin aku ikuti jejaknya adalah bunda, dari segi karir dan cara menyayangi seorang anak, maka dia sebaik-baiknya guru untukku.
Mempunyai cinta yang besar untuk ayah, dan bisa mengurus rumah sekaligus karir dengan seimbang, itu adalah bunda.
Bunda itu terlalu sabar tapi dia kuat. Sosoknya tidak bisa aku deskripsi kan lagi karena bunda benar-benar sempurna di mataku.
Tapi itu dulu.
Yang namanya roda kehidupan akan terus berputar, seberapa kuat kamu bertahan maka kamu sang pemenang.
Sosok bunda yang aku gambarkan betapa sempurnanya dia menghadapi kehidupan kini sudah menghilang. Yang ada di hadapanku sekarang, adalah bunda yang berkabung dalam luka yang besar. Apakah bunda tahu kalau aku juga memiliki luka yang sama tapi jauh lebih besar? Apa dia mengerti perasaanku?
Aku tidak baik-baik saja setelah kehilangan semuanya. Mental ku perlahan terbentuk dari campuran luka antara ayah dan bunda, sehingga aku menjadi seperti ini.
Kepalaku berdenyut nyeri, rasa ingin berteriak dan membanting barang-barang di sekitar seakan meluap-luap. Tapi pada kenyataannya aku duduk terdiam di atas kasur, dengan bunda di hadapanku yang tengah menangis.
"Tolong bantu bunda biar ayah kembali sama kita, Sarah.."
"Kita sama-sama lagi, jangan ada permasalahan lain diantara keluarga kita.."
"Bujuk dia."
Bunda mengguncang bahuku dengan kedua tangannya, dan ini bukan yang pertama.
"Bantu bunda, Sarah...."
"Bantu bunda...."
Rasanya sungguh sakit. Kenapa aku harus merasakan hal seperti ini setiap hari?
Luka yang kemarin saja belum sepenuhnya sembuh dan kini bertambah lagi."Aku lelah bunda..."
Aku katakan pada bunda kalau aku sudah lelah dan berharap bunda akan mengerti. Ku angkat kepala ke atas sembari memejamkan mata dan tidak terasa ada setitik air mata yang jatuh. Baru saja aku merasakan kebahagiaan, secepat ini juga di sandingkan lagi dengan luka besar.
"Bagaimana caranya bunda mengerti, kalau aku sudah lelah?"
"Jahat tidak kalau aku berharap di antara kalian selesai sepenuhnya?" Ketika mengatakan itu, rasa sakitnya kembali terasa bahkan jauh lebih sakit.
Tidak ada anak yang menginginkan keluarganya hancur begitupun dengan aku. Jika waktu bisa di putar kembali, maka aku memilih untuk tidak pernah di lahirkan di keluarga ini.
"Jangan seperti itu, Sarah." Bunda menggeleng sementara aku sudah berkali-kali membuang napas.
"Bukan cuma bunda yang sakit! Aku juga sakit! Mental aku sepertinya sudah tidak berbentuk!"
"Bunda, orang gila mana yang rela basah kuyup seperti ini cuma karena mempertahankan laki-laki bajingan seperti ayah!"
"Sarah!"
"Apa?!"
Suasana hening. Kami berdua sama-sama menggunakan nada tinggi. Saling bertatapan, dengan perasaan seperti di remas aku bangkit dari kasur.
"Lihat bunda sekarang." Kataku dan kembali melihat bunda kali ini dari atas sampai bawah.
"Menyedihkan."
Aku tidak lagi melihat sosok bunda yang dulu. Yang di hadapanku saat ini bukan bunda karena bunda selalu memperhatikan yang namanya penampilan.
Kantung mata terlihat jelas dan sedikit hitam, bibir pucat. Terlihat sekali, kalau wajah yang selalu memandangku lembut itu sedang kelelahan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Whitout You (SUDAH TERBIT DI TEORI KATA PUBLISHING)
Novela JuvenilBagi sebagian orang mungkin memang benar kalau sebaik-baiknya tempat pulang adalah rumah yang berisikan keluarga yang hangat. Sejauh apapun kedua kaki melangkah, pada akhirnya kita akan kembali ke rumah. Rumah yang harusnya menjadi tempat berkeluh k...