Amarah Danu berhasil dipadamkan Anjani, alhasil kini keduanya duduk di teras rumah Wila. Kompak saling mendiamkan. Danu tengah meredam murka yang tadi sempat menggelegak, masih kelewat emosi usai mengetahui kelancangan Aji. Samar-samar bekas tamparan tampak jelas di pipi Anjani, bikin Danu menghela napas panjang berulang kali. Bisa-bisanya seseorang ringan tangan menyakiti perempuan yang tawanya Danu jaga mati-matian. Jika bukan karena Anjani memohon hingga nyaris menangis, sudah pasti Danu kejar si brengsek itu, minimal mematahkan beberapa jarinya. Atau tangannya sekalian. Itu pun sejatinya pembalasan yang jauh dari sepadan.
"Nu," cicit Anjani, "maaf."
Danu menghela napas lagi, kemudian mengusap wajah. Mana bisa sih Danu mendiamkan Anjani lama-lama. Mana tega. Coba tengok muka melas Anjani, dada lelaki itu bakal diremukkan rasa bersalah andai mengabaikannya lebih lama. Jadi Danu pun bawa tatapannya ke sisi kanan, menyambut sorot sarat sesal di mata si perempuan. Seketika melembut Danu dalam memandang. "Ja, sikap gegabah lo itu bisa sedikit dikontrol gak?" Keseriusan di wajah Danu berbayang kekhawatiran. "Gue paham kok lo bermaksud baik, tapi sebelum bantu orang tuh lihat-lihat situasi dulu. Lo mah main terjang aja. Lo abai sama resiko yang bisa bikin lo celaka. Kalau lo sampe kenapa-napa yang ada makin runyam situasinya."
Anjani manggut-manggut kecil.
"Kalau lo sampe kenapa-napa, Wila bakal ngerasa bersalah banget. Lo tau sendiri seenggak enak apa perasaan bersalah itu, 'kan?" Danu mengambil jeda, fokusnya kena distraksi. Selalu begini, Danu tuh selalu mau berhenti ngomel-ngomel kalau Anjani sudah memamerkan raut wajah menyesal; mengulum bibir dan memilin-milin ujung baju, menatap Danu dengan mata yang mengedip-ngedip lambat. Kelihatan melas banget. Danu enggak tega. Namun, nggak bisa. Danu harus teruskan biar Anjani tak mengulang kecerobohan. "Ja, lain kali kalau mau ngebantu orang tapi ada potensi bikin lo celaka, sebelum lo bertindak, coba kasih tau gue dulu. Nanti gue temenin."
"Nanti malah lo yang celaka."
"Emang mending gue aja."
Anjani merengut. "Sarkasme."
"Engga. Seriusan ini, Ja. Mending gue aja yang kenapa-napa," kata lelaki itu.
"Kenapa gitu?"
"Soalnya lo enggak cukup peduli ke diri sendiri, jadi biar gue yang peduli sama lo. Selagi lo memastikan semua orang baik-baik aja, gue juga bakalan memastikan lo enggak kenapa-napa."
"Lo selfless juga, dong?"
Danu berdecak. "Gue ngomong begitu dengan maksud bikin lo salting," kata Danu. Bercanda. Tamat sesi seriusnya. Namun, Danu lihat Anjani malah kian maju bibirnya, ancang-ancang nangis. Jadi Danu segera bangkit dan berlutut di hadapan Anjani. Digapainya kedua tangan perempuan itu, digenggamnya erat. Danu agak mendongak demi bisa menemukan sepasang mata si cantik. "Lo tuh ya, Ja ... hadaaah ...." Lelaki itu sampai kehilangan kata-kata. Berhasil dibuat tidak habis pikir bahkan meski dua puluh lima tahun bersama Anjani.
Anjani nyengir. "Sorry, ya."
Danu bergeming. Atensinya bergeser ke pipi Anjani. Menyemat tatap sendu. "Ini sakit banget pasti." Lantas ia raba dengan lembut. Mengusapnya sambil berusaha redam emosi yang kembali tersulut. Sekeras apa tamparan sialan itu hingga meninggalkan jejak begini?
"Kalau dicium nggak bakal sakit lagi." Anjani bilang begitu sambil melengos. Ia mengulum bibir bawah, berusaha banget nahan senyum. Ketika Anjani berniat meluruskan pandang, tatap balik Danu yang tak kunjung respons kalimat serius berkedok candaannya, Anjani malah mendapatkan kejutan. Anjani nge-freeze dengan mata yang mengedip lambat. Kosong tatapannya.
Anjani mati kutu,
karena Danu.
Lelaki itu mencium sudut bibir Anjani. Niat mengecup pipi malah tergelincir lantaran Anjani menoleh. Salah titik deh jadinya. Tau gitu tadi sekalian aja Danu mengecup bagian bibir dengan presisi pas. Semisal Anjani protes ya tinggal sodorkan alibi tidak sengaja.
![](https://img.wattpad.com/cover/376734015-288-k540440.jpg)