"Kakak, kenapa Kakak suka sekali melukis dan menggambar, hm?"
-
-
-
-
Langkah kaki membawa dirinya ke depan pintu coklat pucat yang berdebu, dengan susah payah anak setinggi lutut orang dewasa itu berjinjit. Lalu, tangannya terangkat ke udara, meraih gagang pintu.
C'klek
Senyum terus mengembang kala ia berhasil membuka benda pipih yang menjulang sangat tinggi, ia meloncat kegirangan sekejap sebelum pada akhirnya melangkah masuk. "Bundaa!! Ayo, cepet! Katanya mau bersih-bersih gudang!!" serunya, dan ia kembali memasuki gudang lebih dalam.
Masker di ujung dagunya ia naikkan, menutup akses bagi debu-debu masuk ke dalam paru-paru mungilnya. Ia mengernyit tanda tak nyaman. Lantas, kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari-cari lubang berbentuk kotak pada dinding — jendela.
Ia segera mendekat pada sumber cahaya yang merangsang masuk ke dalam, menyingkirkan papan-papan berat yang menutupi. Lalu, jendela berhasil terbuka saat ia menahannya dengan tongkat, menampilkan dengan lebih jelas tiap sudut gudang. Senyum mengembang, membuat gigi-giginya nampak.
Ya, di gudang memang tidak ada lampu, makanya Taufan harus membuka jendela dengan susah payah, menggunakan tubuh mungilnya di umur lima tahun saat ini.
"Nah, Kak. Sekarang kita pindahin barang-barang itu dulu ke luar, nanti kita pilah yang mau dibuang." Bunda datang, lengkap dengan sarung tangan dan masker melingkupi sebagian wajahnya. Ia menggerakkan jari telunjuknya demi memberi pemahaman pada Taufan, ditanggapi dengan antusias.
Taufan mulai melakukan apa yang diarahkan Bunda, ia berjalan dan dengan semangat sebesar Gunung Fuji memindahkan barang-barang — yang mampu ia angkat — ke luar.
Berselang begitu lama. Hingga atensi si anak diambil oleh belasan benda pipih di sudut gudang.
"Bunda! Bunda! Ini punya siapa? Cantik banget!" Dia seperti anak ayam yang berhasil menemukan induknya setelah sekian lama berpisah, melompat-lompat dengan jari telunjuk yang mengarah lurus pada deretan kanvas-kanvas berbagai ukuran.
Bunda yang tengah mengelap jendela menoleh dan segera mendatangi Taufan. Taufan kira, ia akan segera menelan jawaban saat ibunya mulai berjongkok di samping. Namun, yang dia dapat hanya hening di bibir ibunya dan gemerlap cairan pada netra ibunya.
"Bunda?" Taufan coba panggil sang ibu setelah kian menit bergeming.
Bunda tersentak, ia menoleh. Kini wajahnya berhadapan langsung dengan wajah chubi anaknya. Tangan itu terangkat, mengusap lembut surai-surai coklat Taufan. "Bunda nggak tau, tapi lukisannya memang cantik."
Taufan cemberut, dia tidak puas dengan jawaban itu. Kembali netra sapphire miliknya meniti tiap inci kanvas, berjalan mendekat dan berjongkok di depan banyaknya kanvas.
Dan anak lelaki itu terpaku di hadapan sebuah keabadian, entah apa dan siapa yang telah abadi dalam deretan karya yang terpantul dalam matanya, entah rasa apa yang telah tercetak pada cat yang tertempel pada kanvas-kanvas itu.
Taufan diam. Dipaksa membeku dihadapan benda pipih ini. Tenggelam ... ya, tenggelam dalam perasaan yang terlukis.
Menyedihkan.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Mimpi [OG]
Fanfiction"Apa gue nggak layak merjuangin mimpi gue?" ------ Orang-orang selalu bilang, mimpi Taufan itu sampah, tapi Taufan percaya, dia bisa, selama mereka ada. Walaupun melihat, selalu membuatnya jengah. Meski tiap membuka kelopak mata, kelabu yang menyamb...