Temu

5 0 0
                                    

Malam itu, jalanan terasa lengang, hanya terdengar deru kendaraan yang sesekali melintas dan angin sejuk yang berhembus lembut. Josef duduk di sudut warkop kecil, tangan kanannya melingkari cangkir bandrek yang masih mengepul. Hangatnya minuman terasa mengalir dari telapak tangannya, memberikan rasa nyaman di tengah suasana hati yang berkecamuk.

Di hadapannya, duduk sahabat lamanya, Helsin, seorang pendengar setia yang selalu hadir saat Josef membutuhkan teman bicara. Dengan wajah penuh perhatian, Helsin menatap Josef yang tampak termenung. Ia tahu, ada sesuatu yang sedang dipikirkan sahabatnya itu. "Kau terlihat lebih tenang dari biasanya, Jo, tapi aku bisa lihat ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Apa yang terjadi?"

Josef tersenyum tipis, menatap cangkirnya, lalu menghela napas panjang. "Entahlah, Sin. Mungkin aku memang terlalu banyak pikiran. Seperti... seperti ada yang mengganjal di hati, dan aku tidak tahu bagaimana caranya menghilangkan perasaan ini. Biasanya, kalau ada hal seperti ini, aku akan menulis. Hanya dengan menulis aku merasa lebih lega."

Helsin mengangguk, memahami kebiasaan sahabatnya itu. "Ya, aku tahu kau selalu menulis. Itu caramu menumpahkan segala rasa, bukan? Tapi kali ini, apa yang membuatmu begitu gelisah? Apakah ini soal Anna?"

Josef mendongak, sedikit terkejut mendengar nama Anna disebutkan. Ia mencoba menyembunyikan kekacauan hatinya dengan senyum yang dipaksakan. "Sepertinya tidak ada yang bisa kusembunyikan darimu, ya?"

Helsin tersenyum hangat, mengangkat bahunya. "Aku sudah mengenalmu cukup lama, Jo. Setiap kali kau terlihat seperti ini, aku tahu ada sesuatu yang berkaitan dengan Anna. Jadi, apa yang terjadi? Apakah kau menulis tentangnya lagi?"

Sebelum Josef sempat menjawab, pintu warkop berderit terbuka. Sosok yang selama ini memenuhi pikiran Josef kini berdiri di ambang pintu, menatap sekeliling sebelum akhirnya menemukan mereka. Anna melangkah masuk, jaket hangat melindunginya dari dinginnya malam. Tanpa basa-basi, ia berjalan mendekati meja mereka dan duduk di hadapan Josef dengan tatapan serius.

Josef menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. Ia tahu bahwa Anna telah membaca cerpennya, namun ia tidak tahu bagaimana reaksi yang akan diterimanya. "Anna?" sapanya pelan, mencoba mengatasi rasa gugupnya. "Kau... kau datang?"

Anna mengangguk, tatapannya lurus menembus mata Josef. "Ya, aku datang. Aku sudah membaca cerpenmu, Jo. Dan... jujur saja, aku merasa bingung."

Josef merasakan dadanya berdebar. Ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu, namun sekarang ia tidak yakin apa yang harus ia katakan. "Aku tidak tahu kalau kamu akan membacanya secepat ini. Bagaimana menurutmu?"

Anna menarik napas panjang, lalu berkata, "Kau menulis seolah-olah ingin memberi ruang, ingin menjauh. Kau merasa bahwa aku akan lebih baik tanpamu. Mengapa kau tidak mengatakan ini langsung kepadaku?"

Josef menundukkan kepala, merasa beban yang telah ia rasakan kini berubah menjadi penyesalan. Ia tidak tahu bahwa tulisannya akan membawa Anna pada kesimpulan tersebut. "Anna, aku tidak pernah bermaksud untuk pergi atau menyerah. Menulis adalah caraku... caraku untuk tetap berada di dekatmu, bahkan ketika aku merasa ragu."

Anna tampak terdiam, wajahnya penuh tanya. "Jadi kau menulis cerpen itu bukan karena ingin berhenti? Tapi mengapa terasa seolah-olah kau ingin menjauh? Aku butuh kejelasan, Jo. Aku tidak ingin hanya menerka-nerka lewat tulisanmu."

Josef mengangkat pandangannya, menatap mata Anna dengan penuh kesungguhan. "Aku selalu merasa lebih jujur ketika menulis, Anna. Ketika aku merangkai kata-kata dalam bentuk cerita, aku bisa menyampaikan hal-hal yang sulit untuk kuucapkan langsung. Dengan menulis cerpen itu, aku berharap kamu bisa memahami perasaanku, melihat sisi lain dari diriku yang tak selalu terlihat."

Anna menatap Josef dengan mata yang masih penuh kebingungan, namun ada sedikit kelembutan yang mulai tampak di sana. "Aku menghargai usahamu, Jo. Aku tahu menulis adalah bagian dari dirimu, dan aku tidak ingin mengubah itu. Tapi kadang, aku butuh kata-kata yang keluar langsung dari mulutmu, bukan hanya lewat tulisan. Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu sebenarnya, bukan hanya dalam bentuk cerita."

Helsin, yang duduk mendengarkan percakapan mereka dengan saksama, akhirnya angkat bicara. "Jo, mungkin Anna benar. Mungkin ini waktu yang tepat untuk berbicara dari hati ke hati, tanpa bersembunyi di balik kata-kata yang tersusun rapi. Kadang-kadang, kejujuran yang langsung diucapkan jauh lebih kuat daripada kata-kata yang tertulis."

Josef tersenyum lemah, lalu mengangguk. "Aku tahu, Sin. Dan mungkin, selama ini aku terlalu sibuk melindungi diriku sendiri. Tapi Anna, percayalah, menulis cerpen tentangmu bukan karena aku ingin menjauh. Justru sebaliknya, itu caraku untuk tetap terhubung. Dengan setiap kata yang kutuliskan, aku sedang berjuang melawan rasa takut untuk menyerah."

Anna terdiam, memproses kata-kata Josef. Ia tahu bahwa lelaki ini adalah seseorang yang berbeda, seseorang yang lebih memilih menyampaikan perasaan melalui cara yang jarang dipilih orang lain. Namun, ia juga merasa ada keinginan untuk lebih memahami, untuk lebih dekat dengan Josef, dan itu membutuhkan kejujuran yang nyata, bukan hanya yang tersirat.

"Jo, aku paham sekarang. Aku tidak ingin kau berhenti menulis. Aku tahu itu adalah bagian dari dirimu. Tapi, aku juga berharap kau bisa mulai belajar untuk berbicara lebih langsung. Aku ingin merasakan kehadiranmu, bukan hanya kata-katamu," kata Anna dengan nada lembut.

Josef merasa kehangatan dalam hatinya, mendengar pengertian yang ada dalam suara Anna. Namun, ia juga tahu bahwa masih ada banyak hal yang perlu ia pelajari. "Aku akan berusaha, Anna. Aku ingin kau tahu bahwa aku siap untuk mencoba. Aku ingin memahami apa yang kau butuhkan, dan aku akan melakukan yang terbaik untuk lebih terbuka."

Anna mengangguk, lalu tersenyum kecil. "Aku akan memberimu waktu, Jo. Aku tidak ingin memaksamu, aku hanya ingin kita bisa saling mengerti. Mungkin ini akan menjadi perjalanan yang panjang, tapi aku senang kita bisa memulainya bersama."

Setelah percakapan itu, Anna berdiri. Ia menghela napas panjang, lalu berkata, "Aku akan memikirkan semuanya di rumah. Aku senang kita bisa berbicara seperti ini, dan aku berharap kita bisa melakukannya lagi."

Josef mengangguk, merasa lebih lega daripada sebelumnya. "Tentu, Anna. Kapan pun kamu siap, aku ada di sini."

Anna melangkah pergi, meninggalkan warkop dengan langkah yang mantap. Josef dan Helsin kembali duduk dalam keheningan, namun kini, keheningan itu dipenuhi dengan rasa syukur dan harapan.

"Jo," kata Helsin, memecah kesunyian, "kau sudah mengambil langkah besar hari ini. Ini bukan hanya soal Anna, tapi ini juga soal dirimu. Kau sudah berani mengakui ketakutanmu, dan itu adalah awal yang baik."

Josef menatap sahabatnya, lalu tersenyum. "Terima kasih, Sin. Tanpamu, mungkin aku tidak akan pernah berani melangkah sejauh ini. Aku tahu, perjalananku masih panjang, tapi aku merasa lebih siap untuk mencoba."

Helsin menepuk bahu Josef, memberikan dukungan yang tulus. Mereka berdua duduk dalam keheningan yang nyaman, merasakan kedamaian dalam persahabatan yang kuat.

Di bawah langit malam yang berkilauan, Josef tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia memiliki Anna yang mendukungnya, dan sahabat yang selalu ada di sisinya. Dengan tekad yang baru, ia bersiap untuk membuka babak baru dalam hidupnya, langkah demi langkah, menuju hubungan yang lebih dalam dan jujur dengan orang-orang yang ia sayangi.

Josef & AnnaWhere stories live. Discover now