PAGI ini, sinar matahari mulai mengintip malu-malu di atas Roma, sementara aku dan Elena berjalan beriringan, menyusuri trotoar yang dipenuhi bangunan kuno dengan arsitektur megah. Kami baru bertemu kemarin, tapi anehnya, suasana di antara kami terasa begitu nyaman, seolah-olah kami telah saling mengenal lebih lama.
"Aku penasaran," kataku, mencoba mencairkan suasana. "How old are you, by the way?" (Berapa umurmu, kalau boleh tahu?)
Elena tersenyum tipis, matanya tertuju ke jalan di depan kami. “I’m 24. And you?” (Aku 24 tahun. Kamu?)
"26," jawabku, agak terkejut mengetahui usianya. "We’re not that far apart." (Kita nggak jauh beda, ya.)
Dia mengangguk. "Yeah. I graduated with a degree in architecture. Cum laude." (Iya, aku lulusan arsitektur. Cumlaude.)
Aku mengangkat alis, terkesan. "Same here, but I majored in literature. Also cum laude." (Sama, aku juga. Cuma aku ambil sastra. Juga cumlaude.)
Kami tertawa kecil bersama, keheningan di antara kami kini diisi dengan keakraban yang baru terjalin. Meski baru kenal, ada semacam ikatan yang tumbuh di antara kami, mungkin karena kesamaan minat terhadap sejarah dan misteri yang disimpan kota ini.
“Kamu sudah lama tinggal di sini?” tanyaku, mataku tertuju pada bangunan kuno yang berjajar di sepanjang jalan.
“Yes, I've lived here since college. Rome has always been the place where I feel most connected to myself.” Elena berhenti sejenak, memandang ke arah Colosseum yang menjulang di kejauhan. “The history, the art, the architecture... it feels like a living museum.” (Sejarah, seni, arsitektur ... rasanya seperti museum hidup.)
Aku mengangguk, merasakan betul apa yang dia katakan. "Yeah, I can see why you’d fall in love with this place." (Ya, aku bisa ngerti kenapa kamu jatuh cinta sama tempat ini.)
Elena tersenyum dan melanjutkan, “Do you want to try some local food? I know a place that serves halal Italian dishes.” (Kamu mau coba makanan lokal? Aku tahu tempat yang menyajikan makanan Italia halal.)
Aku merasa tersentuh dengan perhatiannya. "That would be great! I’m Muslim, by the way. So halal food is important to me." (Itu pasti enak! Aku Muslim, jadi makanan halal penting buatku.)
Kami melangkah ke sebuah restoran kecil di sudut jalan sempit, yang hampir tak terlihat dari luar. Aroma roti panggang dan bumbu-bumbu Italia menguar di udara, memberi kesan hangat dan ramah. Restoran itu sederhana tapi terasa nyaman.
Kami mencoba tagliolini al tartufo nero¹ dan gnocchi alla romana², semuanya halal. Rasanya begitu luar biasa. Ini adalah salah satu pengalaman makan paling unik yang pernah kurasakan.
“Ini benar-benar enak,” kataku sambil tersenyum. "I never thought Italian food could taste this rich and still be halal." (Aku nggak nyangka makanan Italia bisa sekaya ini rasanya dan tetap halal.)
Elena tertawa kecil. "I’m glad you like it. It’s not easy to find halal options here, but there are a few gems if you know where to look." (Aku senang kamu suka. Tidak mudah mencari opsi halal di sini, tapi ada beberapa tempat bagus kalau kamu tahu di mana mencarinya.)
Setelah makan, kami memutuskan untuk terus menjelajah, kali ini mengunjungi monumen-monumen ikonik Roma.
••••
"Apa kamu pernah berpikir," tanyaku memecah keheningan, "Kenapa setiap batu di sini terasa penuh makna?"
Elena melirikku, senyum kecil terukir di bibirnya. "Roma has a way of speaking through its stones. You just have to listen." (Roma punya caranya sendiri berbicara lewat batunya. Kamu hanya perlu mendengarkan.)
![](https://img.wattpad.com/cover/377322437-288-k245441.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Bayang tak Bertepi [DIBUKUKAN]
Romans🏆Juara 2 dalam event City Series oleh Penerbit Book Office. ⚠️Sebagian Part dihapus secara acak, demi kepentingan penerbitan. "Cinta terlarang oleh masa lalu, namun ditakdirkan di kota abadi." Darren Bramasta, seorang penulis muda yang kehilanga...