Prolog and Cast

5 0 0
                                    

1 Juli 2024












Suara sendok bergesekan dengan cangkir mendominasi keheningan rumah Jihan dan Sabian. Sudah hampir setahun menikah, mereka jarang sekali berbicara. Untuk sekadar menyapa selamat pagi atau malam tidak pernah. Meski begitu, Sabian terus menunjukkan rasa cintanya setiap hari.





Pinggang Jihan diraba pelan, ia dibuat terkejut oleh perbuatan suaminya. Gadis tempramental itu langsung membanting sendok ke lantai.






"Siapa suruh kamu nyentuh aku?!"






Sabian melepas rangkulannya, "Han, mau sampai kapan kamu benci aku?"





Jihan membalikkan badannya. Terlihat leher hingga dada bagian atasnya lebam. Gadis berambut panjang itu tersenyum miring.




"Brengsek! Bajingan! Pembunuh!" Umpat Jihan sembari melayangkan tangannya ke atas kepala Sabian. Tangisnya pecah seketika.




Tentu tenaga Sabian lebih kuat dari gadis yang tingginya berbeda 15 cm itu. Lelaki dengan piyama hitam tersebut menarik tangan Jihan hingga badan mungilnya terbentur dinding.





"Akh" Pekik Jihan menahan sakit.





"Rasa sakit yang kamu alami belum seberapa dibanding rasa sakit hatiku" Tambah Sabian.



Ia mendekatkan wajahnya pada Jihan. Lelaki itu hendak menciumnya, namun bibir Jihan tertutup rapat. Pipinya dicengkram kuat suaminya, dengan cepat ia berhasil menggigit pergelangan tangan Sabian.




"Aw" Sabian lanjut menggunakan tangan kirinya untuk memegang leher Jihan.



Jihan mengeluarkan benda dari sakunya yang dibungkus plastik kecil lalu dilemparkan ke lantai.



"Kalau kamu ... mau nyampurin racun itu ... ke minumanmu ... sampai mati ... " Ucap Jihan terbata bata, napasnya terblokir,

"mungkin ... aku bisa cinta ... sama kamu" lanjutnya sembari berusaha melepas tangan Sabian yang mencekiknya.




Sabian menoleh ke belakang dan melepas cengkramannya, Jihan mengganti ekspresinya, menjadi senyuman lebar.



Lelaki itu segera memungutnya dan membuka kemasan dengan kasar. Lalu ia menuangkan semua bubuk racun itu ke dalam tehnya. Tanpa menunggu perintah istrinya, ia meminumnya sampai habis.



"Bahkan aku rela mati, demi kamu, Jihan"


Lelaki itu langsung pergi ke kamar mandi setelah meneguk habis minumannya. Sedangkan Jihan meletakkan kembali bungkus itu ke dalam saku celana Sabian di dalam kamar.



Jihan berjalan santai menuju depan kamar mandi, "Sayaangg..." Panggil Jihan.



Terdengar suara Sabian terbatuk batuk dari dalam.


"Udah mati belum?" Tanya Jihan sambil memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Lalu melihat jam dinding.



23.15



"Terlambat", batin Jihan.



Brak!



Pintu geser kamar mandi terbuka dengan keras. Sabian berjalan sempoyongan sambil menyembunyikan senjata di balik badannya.

















Brak!










































DOR!







Perut Jihan tertembak, gadis itu langsung ambruk. Tak lama kemudian darah menggenang.






























Jihan terkapar sambil tersenyum.

RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang