O 2. Memori Timbul

2 0 11
                                    

Day 2 - Ingatan

a/n: lihat kolom komentar untuk terjemahan bahasa Jawa

_______

"Haryono! Ndi Haryono!?"

Aku menemukan warung pecel yang terlihat menarik di sekitar area makam. Berupa terop kecil yang didirikan di halaman rumah bergaya kuno yang terawat dengan baik.

Tapi baru saja aku menyendok seporsi punten pecel yang sudah tersedia di hadapanku, datang seorang bapak tua yang memanggil-manggil nama seseorang dengan panik.

"Bapak sampun tindhak, Pak!" Itu jawaban dari ibu pemilik warung, yang seketika menghentikan kegiatannya menggoreng tahu tempe akibat kedatangan bapak tua itu.

Si ibu pemilik warung segera menghampiri tamunya. Mereka terlihat berbincang-bincang sebentar, lalu bapak tua itu pergi dengan raut wajah kusut.

"Sepurane, yo, Mas, jadi keganggu," kata ibu pemilik warung padaku, begitu si bapak tua sudah tidak terlihat lagi.

"Gakpapa, Bu," jawabku santai.

"Bapak tadi itu hampir tiap hari ke sini, Mas. Kadang saya jadi ndak enak sama pelanggan," jelas ibu warung seraya menyalakan kompor, hendak melanjutkan kegiatan menggoreng yang sempat tertunda.

"Tadi bapaknya kayak lagi cari orang, ya, Bu?" tanyaku.

"Iyo, Haryono itu nama bapak saya, sudah meninggal tiga tahun lalu." Perkataan ibu warung terpotong oleh bunyi percikan minyak. "Bapak tadi itu namanya Pak Suwandi, mantan tentara zaman Nippon, sama kayak bapak saya."

Untuk sesaat, tidak ada suara selain minyak yang meletup-letup. Aku masih menyimak cerita ibu warung seraya mengunyah punten dengan khidmat.

"Pak Suwandi iku wis sepuh, wis pikun. Tiap hari ke sini nyari bapak saya, mungkin teringat waktu beliau masih jadi tentara dulu," lanjut ibu warung. "Bapak saya juga sering cerita, Nippon iku kereng, Mas, warga kene dadi soro. Terus, sama temen-temen tentara dilawan, lah."

"Tapi mereka kalah, Mas, diburu karo Nippon, untung Bapak karo Pak Suwandi jek iso myalu."

"Owalah, iku ceritane tentara PETA, yo Bu?" tebakku. Melihat raut wajah ibu warung, sepertinya tebakanku benar.

"Betul, Mas. Mas'e banyak tau, yo?" kelakar si ibu. "Jaman saiki akeh bocah ndak ngerti sejarah, Mas. Padahal penting, lho, ben podo ngerti piye perjuangane mbahe dhisek."

Aku hanya meringis. Seandainya si ibu tahu kalau yang ada di depannya saat ini sama sekali bukan "anak muda"....

Zaman Jepang, ya. Kalau diingat rasanya jadi agak kesal. Siapa sangka laki-laki berwajah tenang dan terlihat cinta damai itu dulu pernah melakukan hal-hal mengerikan di berbagai tempat.

Rasanya aku mengerti perasaan Pak Suwandi. Beliau yang selalu terbayang saat-saat paling menegangkan dalam hidupnya, bahkan hingga teman seperjuangannya telah pergi.

Bahkan bagi "kami" yang telah hidup ratusan tahun, ingatan juga merupakan hal yang misterius. Bukan berarti kami ingat segala hal yang terjadi sepanjang kami hidup, terkadang kami juga akan melupakan hal yang sudah terjadi lama sekali.

Dan jika terdapat suatu hal yang tidak tercatat dalam sejarah manapun, atau sudah tidak ada lagi orang yang mengingat hal tersebut, kami juga akan melupakannya.

Makanya aku ikut senang saat orang-orang mau belajar sejarah. Supaya apa yang terjadi di masa lalu akan selalu dikenang, supaya aku juga tidak melupakannya.

Setelah kenyang, aku memberikan selembar uang duapuluh ribu rupiah kepada ibu warung.

"Matur suwun, yo, Mas," kata si ibu seraya menyerahkan kembalian. "Oiyo, Mas'e wis nduwe pacar durung? Kebetulan anak saya yang perempuan sepantaran sama Mas'e, lho."

"Waduh, Bu. Lain kali, nggih."

________

Hetalia © Himaruya Hidekaz
Prompt by: SFragment

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SNIPPETSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang